Ketika Bubur Harus Dibikin Enak by Astrid Jayanthi

Selamat siang,

Baru kali ini saya menuliskan apa yang ada dalam benak saya. Saya ibu bekerja dengan anak 1 usia 2,5 tahun. Saya sendiri berusia 30 tahun dan suami 31 tahun.

Semenjak saya lajang saya sudah menjadi tulang punggung bagi orangtua saya. Setelah menikah pun saya tetap menjadi tulang punggung orangtua saya. Kebetulan saya 1 rumah dengan orangtua.

Gaji suami tidak pernah diserahkan ke saya. Untuk urusan susu dan pampers tanggungan suami. Untuk urusan rumah tangga, keperluan bedak, baju, sepatu, mainan anak dan belanja bulanan menjadi tanggungan saya. Tetapi apabila pampers dan susu habis maka yang membelikan saya. Continue reading →

Pacaran dengan Duda by Rumina

Saya saat ini sedang pacaran dengan seorang duda beranak dua. Namun hanya anak bungsunya saja yang ikut dengan pacar saya.

Rasanya saya sudah tidak betah karena anak pacar saya ini benar-benar manja dan nakal. Saya sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengurus anak. Apa lagi saya tidak pernah punya pengalaman memiliki anak, terlebih lagi ini bukan anak saya.

Namun saya tulus sayang dengan pacar saya ini… Any suggest?

Saya Ingin Membahagiakan Suami Saya by Alzahra Julbi

Saya wanita karier umur 27 tahun. Saya menikah dengan suami sudah 3 tahun, tapi kami belum dikarunia keturunan.

Pada usia pernikahan masuk 2 tahun setengah mulai banyak timbul permasalahan dalam rumah tangga saya. Semua berawal dari kesalahan saya. Saya tidak pernah menghargai suami dan tidak pernah meminta pendapat suami sebelum mengerjakan sesuatu sampai akhirnya rumah tangga kami terbelit hutang yang begitu banyak.

Saya benar-benar menyesal. Saya mencoba memperbaiki semua kondisinya, tapi yang saya dapat adalah suami saya malah menghianati saya di saat sedikit demi sedikit hutang mulai terselesaikan. Continue reading →

Aku dan Anakku Ditinggalkan Suami Tanpa Alasan by Tha-tha

Dear Celoteh istri,

Saya adalah seorang wanita berusia 24 tahun. Saya sudah menikah dan memiliki 1 putri. Saat ini saya sedang menghadapi masalah yang begitu berat karena tiba-tiba tanpa alasan yang jelas suami saya menghilang.

Saya begitu sedih dan bingung sedangkan sebelumnya kami baik-baik saja. Saya sudah mencoba menghubungi telponnya namun sampai saat ini tidak aktif, saya menghubungi kantornya namun suami saya sudah tidak bekerja lagi disana, saya sudah menghubungi keluarganya namun nihil.

Saya yakin suami saya pulang ke rumah orang tuanya namun entah kenapa pihak keluarganya menyembunyikan sesuatu. Karena suatu kali saya mencoba telepon kembali ibunya dan ibunya bilang dia ada di rumah, tapi tidak mau berbicara dengan saya dan saya hanya diminta menunggu. Continue reading →

Everything Happens for a Reason

Beberapa hari yang lalu ketemu sama sepupu dari mantan istri suami saya. (Nah lo, bingung kan… ). Kami membicarakan banyak hal terutama tentang keuangan rumah tangga. Beliau bekerja di industri pengeboran lepas pantai. Kebayang dong berapa banyak penghasilannya. Tapi banyaknya penghasilan itu nggak akan ada artinya kalau istri beliau nggak bisa mengelola keuangan keluarga dengan baik. Untungnya, istri beliau tetap mempertahankan gaya hidup sederhana walaupun penghasilan suaminya meningkat drastis. Alhasil, saat ini istri beliau mengelola beberapa kost dan memiliki beberapa mobil (bagus) pribadi dari hasil nabung penghasilan suami.

Satu hal yang membuat saya cukup tertampar adalah selama ini saya kadang ngiri sama teman-teman saya yang bisa jalan-jalan kesana kemari, beli ini itu sesuka hatinya. Sedangkan saya harus nahan diri karena selalu kejar-kejaran sama yg namanya cicilan. Nah, ada satu statement saudara mantan istri suami saya yang bikin saya sadar se sadar sadarnya adalah “bayangin Vina, 2-3 tahun lagi saat semua cicilan sudah selesai, kamu punya aset …. (tiiiiitttt, -sengaja disensor) rupiah plus penghasilan tambahan sebesar level manager perusahaan gede”.

Ah iyaaaa, selama ini saya selalu ngeluh karena penghasilan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja karena selebihnya untuk bayar cicilan ini itu. Saya cuma butuh bersabar sampai 2-3 tahun lagi untuk bisa nafas lebih lega.

Tapi yang pasti belajar dari istri beliau, nggak semua penghasilan itu (kalau kata suami saya) “masuk ke wc” atau kalau kata nenek saya “dhuwit ojok gae tuku gombalan thok” (uang jangan dipakai untuk beli baju aja, baju disini maksudnya barang-barang yang kurang berharga). Point utamanya, jangan beli hal-hal yang nggak berguna yang kadang seringnya hanya karena kita lapar mata. Sebesar apapun penghasilan kita nanti, tetaplah hidup sederhana sesuai kebutuhan.

Karena suami saya dan saya juga saya bukan orang yang berasal dari keluarga kaya yang bisa ngandelin warisan orangtua, maka kami harus sama-sama berjuang untuk hidup yang lebih baik dan lebih layak, terutama untuk anak-anak nanti. Dan juga untuk membuktikan kalau di balik laki-laki sukses ada istri yang hebat dan juga mantan yang menyesal. Hahaha…

(Info ga penting sih, saya kenal suami saat dia sudah cerai 1 tahun dengan istrinya dan dia ga punya apa2. Tahun terberat kami adalah 2012 karena hutang disana-sini plus semua kendaraan dijual, jadi saya dan suami berusaha bukan dari nol lagi, tapi dari minus)

Ya, everything happens for a reason. Saya harus ketemu sepupu mantan istri suami saya untuk bikin saya sadar se sadar sadarnya untuk nggak lagi ngiri sama teman-teman saya yang sekarang bisa enak kesana kemari dan beli ini itu. Ya iyalah, lha wong mereka masih single, masih bebas mau ini itu dan blm ada anak harus dipertanggungjawabkan.

Tentang Pernikahan, Tentang Pasangan Hidup (Suami/Istri)

Saya dan Suami Saya

Saya dan Suami Saya

Kalau ditanya kenapa saya milih suami saya sekarang untuk jadi pasangan hidup, saya juga bingung gimana jawabnya. Secara dia bukan tipe saya banget. Sebagai seorang yang dulu menyukai dunia akademisi (sekarang juga masih suka sih kalau disuruh nyemplung lagi di dunia itu), saya suka tipe cowok yang pakai kacamata, serius, rapi, bisa diajak diskusi hal-hal yang berat2, romantis, punya keinginan yang sama untuk lanjut kuliah di luar negeri dan tentunya seagama. Tapi ternyata suami saya beda agama dengan saya, dia duda, punya anak pula sebelumnya, dandanannya semau-mau dia, dan juga sering bikin saya jantungan. Kalau dipikir-pikir beberapa pasangan nemuin pasangan hidupnya malah bukan yang sesuai kriterianya, tapi malah (mungkin) kebalikannya. Kenapa begitu? Karena Tuhan tau kalau yang dibutuhkan oleh setiap pasangan adalah saling melengkapi. Coba bayangin kalau saya dan suami saya sama-sama  serius, apa ga akan jadi seperti ruangan dosen rumah kami nantinya? Heheehee… Makanya Tuhan kasih saya pasangan yang doyan becanda.

Anyway, kalau ditanya bahagia atau tidak hidup bersama dgnya, jujur saya bilang kalau beberapa kali saya sempat ingin mengakhiri ikatan ini atau kadang juga saya ingin bunuh diri, tapi karena blm nemuin cara bunuh diri yang nggak pake sakit, nggak dilanjutin deh keinginan itu. (Jadi ketauan kan nyalinya ciut. Hahaha…).

Rumah tangga, berkeluarga, menjalin hubungan suami istri itu nggak seperti cerita dongeng yang setelah menikah lalu happily ever after. Justru yang ada kita baru saja terbangun dari mimpi indah yang panjang. Pasangan kita nggak seperti yang kita harapkan. Tapi jangan serta merta putus asa jika kepentok hal-hal seperti itu karena semakin lama akan semakin banyak ketidakcocokan kita dengan pasangan. Kalau kata bu Herien, dosen saya dulu, seorang doktor di bidang keluarga, pernikahan itu management ketidakcocokan. Management ketidakcocokan yang saya aplikasikan selama ini adalah saya selalu mengingat kebaikan-kebaikan  suami saat dia melakukan hal-hal yg menyakitkan hati. Misalnya, bagaimana care-nya suami saya sama keluarga saya terutama mama saya, bagaimana suami saya sangat jago ngurus anak bahkan seringnya dia yang bangun tengah malam untuk membuatkan susu untuk Avi karena tidak mau membangunkan saya yang terlelap pulas karena kecapekan, dan bagaimana dia selalu berusaha untuk memenuhi semua keinginan saya dan mengenyampingkan keinginannya sendiri. Percayalah, saat hati sedang merasa sangat tersakiti dan kau malah mengingat kebaikannya, maka keinginan untuk pisah atau bunuh diri akan sirna begitu saja. Soalnya, kalau kita cuma mengingat keburukan seseorang, nggak bakalan ada habisnya. So, stop mengingat-ingat keburukan pasangan kita, tapi mulailah ingat semua hal baik yg ada dalam dirinya.

Alhamdulillah saya punya suami seperti dia. Emang sih, dia jelek, item, masih gendut walopun sudah turun 22kg, tua (beda 10 th sama saya), hidup selalu dalam ketidakpastian karena dia bukan pegawai, kadang tempramental, mood swing (kalau ini mah saya juga begitu), dan masih banyak lg hal-hal buruk lain yang tidak perlu saya bongkar di ruang publik. Sampai kadang saya mikir, kok bisa ya saya mau sama dia??? Hahaha… Nah itulah, kadang cinta memang nggak butuh alasan, nggak perlu dijelaskan. Yang saya tahu, dengannya saya memiliki keluarga yg sempurna, anak-anak yg baik, dan menurut saya dia adalah laki-laki paling bertanggung jawab kedua di dunia ini setelah ayah saya. Karena menikah adalah menjaga komitmen.

*ah jd pengen nangis kaaannn…