Perselingkuhan Mereka

Selingkuh, kenapa ya kok saya sering banget melihat perselingkuhan terjadi di sekitar saya. Karyawan saya, teman (suami) saya, tamu saya, beberapa diantaranya selingkuh. Nah, akan saya ceritakan beberapa modus mereka yang berselingkuh.

  • Cerita pertama, sebut saja namanya Budi. Salah satu driver di kantor saya. Kalau pas lagi di kantor seringnya dia telepon-teleponan sama entah siapa. Tapi yang pasti perempuan. Sebagai driver jam kerjanya tidak jelas, bisa dari pagi buta sampai tengah malam, bisa juga dari jam 1 siang sampai jam 3 sore aja. Nah, di waktu-waktu senggangnya sebagai driver, dia manfaatkan untuk telepon-teleponan dengan orang yang saya yakin itu adalah selingkuhannya. Kadang saya mencuri dengar pembicaraannya ditelepon (kalo pas lagi di kantor), seringkali dia merencanakan untuk ketemu orang itu atau dia menyatakan kekesalannya karena semalam janji untuk ketemu tidak dipenuhi oleh si selingkuhannya. Fiuuuhh… Kasihan ya istrinya…
  • Cerita kedua, sebut saja namanya Andi. Salah satu teman suami saya yang bekerja sebagai driver di salah satu perusahaan jasa rental mobil-mobil bagus (Camry, Alphard, dll). Modus perselingkuhannya adalah dia sengaja ke spa plus-plus. Setelah mengantar tamu pulang ke hotel, dia tidak langsung pulang ke rumah. Tapi masih mampir dulu ke tempat spa plus-plus itu. Ondeh mandeh… Kasihan ya istrinya…
  • Cerita ketiga, sebut saja namanya Aryo. Tamu saya. Dia sudah berulang kali ke Bali. Menginap di hotel / villa bagus-bagus, dan tentunya mahal. Tapi tiap kali dia datang ke Bali, perempuan yang menemaninya bukan istrinya dan selalu ganti-ganti. Saking seringnya dia menggunakan jasa kami kalau lagi berlibur ke Bali, hubungan dia dengan suami saya sudah seperti teman, bukan lagi customer-penyedia jasa. So, suami saya akrab banget sama Aryo. Menurut suami saya, belum pernah dia tau si Aryo berlibur ke Bali dengan istri dan anaknya. Ampuuunnn… Kasihan ya istrinya…
  • Cerita keempat, sebut saja namanya Roy. Tamu saya yang akhirnya jadi seperti teman karena dia tujuh bulan tinggal di Bali (dimutasi oleh kantornya ke Bali), dan selama di Bali dia selalu menggunakan jasa kami untuk membeli tiket pesawat, rental mobil dan paket wisata untuk entertain bos-bosnya dari Jakarta. Singkat kata, dia sengaja “nge-push” istrinya untuk pulang kampung ke Medan dan liburan ke luar negeri (Malaysia dan Singapore) bersama anaknya yang masih berumur satu setengah tahun. Sekitar 3 minggu istrinya tidak di Bali dan selama itu juga dia melaksanakan rencana terpendamnya. Hari pertama istrinya tidak di rumah dia sudah ribut nyari-nyari cewek panggilan. Dan itu berlangsung sampai sehari sebelum istrinya balik ke Bali. Haduuhhh… Kasihan ya istrinya…
  • Cerita kelima, sebut saja namanya Made. Teman suami saya, orang Bali asli. Modus perselingkuhannya adalah, dia sengaja menyewa kamar kosan untuk menghemat biaya “check in hotel”. Jadi, dia bilang sama istrinya kalau dia tidak bisa fokus kerja di rumah karena terganggu dengan anaknya yang masih kecil (sekitar 7 tahun mungkin umurnya), makanya dia butuh tempat di luar rumah (kost) supaya dia bisa lebih giat lagi dalam bekerja (dia seorang internet marketer). Tapi itu cuma modus aja. Yang benar adalah, dia menyewa kamar kost untuk mempermudah perselingkuhannya dengan wanita lain. Astagaaa… Kasihan ya istrinya…

Itu lima cerita perselingkuhan beberapa laki-laki yang saya tahu. Tentu di luar sana ada lebih banyak lagi laki-laki yang berselingkuh. Kalau ditanya mengapa mereka selingkuh, mostly jawabannya karena si istri sudah tidak menarik lagi dan tidak mampu melayani mereka dengan baik.

Fine, di satu sisi meman mereka salah, salah karena telah berselingkuh dan mengkhianati pasangan hidupnya. Tapi sebagai istri memang sepatutnya kita juga harus berbenah.

Saya tahu bagaimana capeknya mengurus anak, rumah, suami dan juga kerjaan kantor. Sampai-sampai memang kita nggak ada waktu untuk diri sendiri, untuk merawat dan mendandani diri. Tapi ya, yang namanya suami juga harus dijaga, ya tho? jangan nanti jerit-jerit kalau suaminya sudah hilang “digondol” orang. Karena gini ya, nggak semua suami bilang apa yang sebenarnya mereka inginkan dari istrinya. Di depan istrinya si suami nerima aja apa yang ada, di depan istrinya mereka seperti suami baik-baik. Tapi tahukan para istri apa yang sebenarnya terjadi di belakangnya? Si suami ngelaba sama perempuan lain! Fiuuhh… Apa nggak sakit hati tuh?

Selingkuh, sudah pasti salah. Tapi coba cari alasan mendasar kenapa suami sampai selingkuh. Jangan hanya nyalahin orang lain. Tapi harus sama-sama introspeksi diri.

Filosofi Gerobak Nasi Goreng

Gerobak Nasi Goreng, saya tentu nggak akan ngebahas tentang pembuatan gerobak nasi goreng atau seluk beluk gerobak nasi goreng. Soalnya bikin sesuatu bentuk dari mainan blog anak saya Avi saja, saya suka bingung, gimana mau bikin gerobak nasi goreng?? Ya kan??

Anyway, saya akan ngebahas filosofi di balik gerobak nasi goreng. Waduh, kok kesannya jadi serius banget gini ya? Filosofi. Serasa balik lagi ke jaman kuliah dulu. Oke, sekarang buka chapter delapan. Nah loh! Yuk ah, mulai pembahasannya.

Filosofi Gerobak Nasi Goreng

Filosofi Gerobak Nasi Goreng (image from: www.dewanatha.com)

Beberapa penjual nasi goreng atau penjual makanan kaki lima jenis lain kadangkala personilnya sepasang suami istri. Sebagian besar orang mungkin tidak memperhatikan sisi lain dari penjual makanan kaki lima yang personilnya sepasang suami istri. Saat mereka beli nasi goreng, mereka cuman pesen, makan, bayar, pulang. Atau pesen, bungkus, bayar, pulang. Coba deh kita perhatiin di luar prosesi jual beli nasi gorengnya, tapi gimana sepasang suami istri saling bahu-membahu dan mendukung untuk mencapai tujuan mereka. Memang sih mungkin banyak yang melihat hal itu simple, hanya saling membantu jualan nasi goreng. Tapi suami saya tercinta, tersayang, tapi (bukan) yang terganteng (ups, sorry honey… ), melihat sisi lain dari gerobak nasi goreng yang sama dia saya akhirnya dibikin judul tulisan ini “Filosofi Gerobak Nasi Goreng”. Dibali gerobak nasi goreng ada suami bertugas ngegoreng nasi sedangkan istrinya bertugas menggoreng telur dan menyiapkan bahan-bahan nasi goreng (atau sebaliknya). Mereka bekerja sama dengan kompak, saling berbagi tugas dengan baik. Dan saat berangkat ataupun pulang  suami istri tersebut sama-sama mendorong gerobak nasi goreng mereka.

Dari “ritual” di balik gerobak nasi goreng oleh pasangan suami istri itu apa yang bisa kita petik? Mereka saling bahu membahu untuk mencapai tujuan mereka, itulah “Filosofi Gerobak Nasi Goreng” versi suami saya. Nah, pertanyaannya sekarang adalah apakah kita sudah menerapkan filosofi tersebut dalam kehidupan rumah tangga kita? Atau kita terlampau egois dengan tujuan/pencapaian diri sendiri?? Silahkan dijawab dalam hati masing-masing, tapi kalau ada yang mau jawab dengan semangat 45 juga monggo. Hehehe…

Filosofi gerobak nasi goreng serasa menampar saya. Bukan hanya sekali saya ingin kembali bekerja di luar rumah. Mengembangkan karir. Beraktualisasi diri. Mewujudkan mimpi pribadi. Apalagi kalau melihat teman-teman saya udah begini-begitu, wuiihh… makin mendidih rasanya pengen kembali aktif di dunia saya yang dulu. Tapi lalu saya merenung, berpikir, untuk apa saya bekerja di luar rumah hanya untuk mengejar upah yang nggak lebih dari lima juta sebulan dan harus mengorbankan waktu bersama keluarga saya (terutama anak). Lebih baik saya di rumah, mengurus anak dan rumah sambil membantu suami mengurus usaha kami, ya kan?

Ya, saya saat ini bersama-sama suami mendorong gerobak dan jualan nasi goreng berdua. Jangan dibayangkan saya ibu-ibu gendut yang jualan nasi goreng di pinggir jalan lho ya (karena aslinya kan sekseh abis cyin!), itu cuma kiasan aja, yang diambil kan filosofinya. Kami bersama-sama sedang membangun, sama-sama berdarah-darah mempertahankan usaha yang saat ini dijalani, sama-sama berbagi tugas untuk mencapai tujuan bersama. Kami sedang menerapkan filosofi gerobak nasi goreng.

Filosofi Gerobak Nasi Goreng oleh suami saya (Marvin Sitorus), simple tapi dalem banget untuk kehidupan rumah tangga.

Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Awal Nge-blog

Saya mulai mengenal blog sejak tahun 2006. Waktu itu ada seorang teman, ups lebih tepatnya mantan yang ngajarin saya bikin blog. Akhirnya jadilah satu akun blog di worpress.com dengan judul www.okvina.wordpress.com.

Di blog pertama saya itu awalnya content-nya lebih banyak curhatan nggak penting daripada tulisan-tulisan bermutu. Hingga pada suatu saat ada salah seorang teman yang ngomentarin blog saya. Dia bilang begini “Vina, isinya kok diary aja sih? tulisan-tulisan, makalah-makalah, tugas-tugas kuliah yang berbentuk karya tulis bagus juga lho kalo dimasukin dalam blogmu… hanya saran”. Sejak saat itu saya jadi terpikir, oh iya ya, kenapa nggak saya masukin tulisan-tulisan yang sedikit bermutu di blog saya?

Blogging

Blogging

Perjalanan Blog Saya

Seiring dengan bergulirnya waktu, tulisan yang ada di blog saya nggak hanya berisi tentang curhatan nggak penting tentang diri sendiri. Saya juga memasukkan beberapa tulisan yang lumayan berbobot. Sebenarnya sih banyak dari tugas kuliah dan beberapa ringkasan karya tulis yang saya buat.

Pembaca blog saya mulai beragam. Saya mulai membuat tulisan yang ber-content “nyerempet” ke psikologi populer. Tulisan saya seringkali saya kaitkan dengan beberapa teori yang saya peroleh di bangku kuliah. Selain itu, saya juga mulai menulis cerita-cerita traveling saya. Hingga pada bulan April 2010 saya membeli satu domain (www.ladiestraveler.com) yang khusus untuk cerita-cerita traveling saya.

After Married

Setelah menikah saya tinggal di Bali. Di kantor dan juga di rumah ada koneksi internet. Setiap hari saya harus berhadapan dengan internet karena pekerjaan suami saya tidak bisa lepas dari koneksi internet. Jadilah saya bosan dengan hal itu. Akhirnya saya ingin punya satu blog yang isinya khusus berisi curhatan para istri (terutama saya, hehehe). Jadilah suami saya membelikan saya domain www.celotehistri.com.

Di weblog celoteh istri ini saya menulis banyak hal. Dan terutama curhatan saya yang sering dibikin spot jantung dengan kondisi “newly wed”, “newly mom” dan “post power sindrome”.

Perbedaan Kami

Anyway, saya dan suami berasal dari dua dunia yang berbeda (halah!). Maksudnya bukan yang satu dunia gaib dan yang satu lagi dunia nyata, tapi latar belakang kami sangat berbeda. Saya orang Jawa, suami orang Batak-Ambon. Saya anak terakhir, suami saya anak pertama. Otak saya berkembang di dunia akademisi, otak suami saya berkembang di jalanan (yang tentunya jadi lebih realistis dalam segala hal). Yang pasti, saya dan suami sangat bersebrangan. Semua hal tersebut seringkali menyulut emosi tingkat tinggi antara kami berdua.

Contohnya konkret dari masalah yang terjadi di rumah tangga saya misalnya, saya yang orang Jawa sedangkan suami saya campuran Batak-Ambon (beuuhhh, kombinasi yang sempurna kan? hehehe…). Tipikal orang Jawa yang kalem, lemah gemulai kayak putri Solo plus mudah sakit hati harus berhadapan dengan tipikal orang Batak-Ambon yang kalau ngomong blak-blakan (yang sering bikin sakit hati) plus nada keras seperti orang yang lagi ngebentak. Bisa dibayangkan kan kalau sering terjadi “gonjang-ganjing” di rumah kami. Hahaha…

Oh iya, masih belum lagi kalau suami saya yang teramat sangat ramah (terutama sama yang namanya perempuan), berbuat hal-hal (yang menurutnya) “konyol”, tapi bikin saya cemburu setengah gila! Huaaa, bisa hancur rumah kami. Putri Solo bisa berubah menjadi monster ganas secara tiba-tiba! Wekekek…

Karena dua orang yang berbeda, otak yang berbeda dan hati yang juga berbeda harus menjadi satu maka bukan hal yang mustahil kalau terjadi kres diantara pasangan suami istri. Begitupun juga dengan saya dan suami saya. Seringkali terjadi miskomunikasi diantara kami berdua. Saat suami saya bilang apa, saya nangkepnya kemana. Atau kalau suami saya ngomong apa saya menanggapinya dengan pemikiran yang telah “loncat dua-tiga kali” dari yang seharusnya. Tak ayal hal ini membuatnya uring-uringan karena tanggapan dari saya nggak sesuai dengan yang (mungkin) diharapkannya.

Contoh diatas merupakan penyulut emosi antara kami berdua. Awalnya saya juga berang kalau suami sudah pakai nada yang satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. Tapi lama kelamaan saya jadi capek dan bosan sendiri. Kalau suami saya lagi emosi atau kalau saya yang sedang  dibakar amarah karena beberapa sikapnya yang tidak saya suka, saya biasanya diam (walopun di hati sudah seperti ada kawah yang mau memuntahkan semua laharnya). Karena di benak saya selalu tertanam, kalau misalnya nggak ada salah satu pihak yang mau ngalah dan berjiwa besar, hanya seumur jagung usia perkawinan saya. Amit-amit deh!

Lalu, apa yang saya lakukan kalau setelahnya? Melakukan hobi saya, ngeblog!

Saat suami dan anak saya terlelap, biasanya saya facebook-an, twitter-an dan juga browsing sana-sini yang ujung-ujungnya adalah blog walking. Melalui blog walking saya membaca tulisan orang lain, terutama yang penulisnya perempuan yang telah berkeluarga. Dari blog walking ini saya terkadang seperti membaca cerita saya sendiri tentang permasalahan keluarga, dan saya juga banyak belajar dari pengalaman orang lain bagaimana cara mengatasi masalah rumah tangga.

Disaat saya melakukan semua aktifitas tersebut merupakan saat terpenting bagi saya untuk menurunkan emosi dalam diri. Yang awalnya pengen banget update blog yang isinya tulisan tentang semua kejelekan suami, jadi berbalik arah menjadi mengingat semua kebaikan yang ada dalam diri suami dan menuliskannya dalam blog. Hal ini sangat membantu sekali mengurangi tekanan darah dan detak jantung saya serta memperpendek waktu “perang dingin” antara saya dan suami.

Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Saya sudah nge-blog sejak tahun 2006. Banyak sekali manfaat yang saya peroleh dari menulis di blog. Dengan menulis di blog, saya telah berbagi dengan orang lain. Berbagi pengalaman, berbagi informasi, berbagi cerita, berbagi hikmah hidup, berbagi perasaan dan berbagi pemikiran.

Setelah menikah, saya jadi menemukan manfaat lain dari hobi saya ini. Ngeblog ternyata bisa juga meminimalisir volume pertengkaran dan lama waktu “perang dingin” saya dengan suami.

Judul ini sudah dipublish pada 27 Oktober 2012. Walaupun judulnya sama, tapi yang ini adalah versi lengkapnya. Sebenarnya tulisan ini saya kirim ke email Emak-Emak Blogger untuk bisa masuk buku antologi yang pertama. Tapi sepertinya tidak lolos seleksi. Daripada tulisannya nganggur, jadilah saya posting disini. Semoga bermanfaat. 🙂

Berdamai dengan HATI

Cerita Saya dan Suami

Di weblog saya ini saya selalu menceritakan yang baik-baik tentang suami saya. Bukan kenapa, karena dulu saya pernah satu kali menuliskan kekesalan saya pada suami dan ternyata banyak sekali komentar miring yang saya terima.

Saat menuliskan kekesalan saya terhadap suami, saya berharap kalau saya akan dapat penguatan dari orang lain. Tapi ternyata yang saya terima malah sebaliknya. Semakin banyak energi negatif yang saya terima. Oleh sebab itu saya langsung menghapus tulisan tersebut dan saya niatkan dalam hati bahwa saya tidak akan lagi menuliskan yang buruk-buruk tentang suami saya baik itu di blog, dan semua akun sosial saya. Selain itu, karena saya teringat akan obrolan saya dengan mama saya. Waktu itu mama bilang kalau buruknya pasangan kita biarlah kita sendiri yang tahu. Tidak perlulah orang lain ikut tahu.

Sama seperti manusia lainnya, suami saya juga tidak sempurna. Banyak kekurangannya. Dan sering juga ngeselin saya. Berantem? Perang mulut? Diem-dieman? Jangan ditanya lagi. Walaupun intensitasnya belum masuk kategori sering, tapi kami kerapkali berselisih paham.

Kesel, dongkol, pengen ngamuk-ngamuk, pengen curhat ke seluruh dunia juga seringkali saya alami. Namun saya selalu meredam keinginan untuk curhat ke seluruh dunia itu. Btw, tahu kan maksud saya dengan curhat ke seluruh dunia? Curhat-curhat tentang masalah rumah tangga apalagi sampai ngejelek-jelekin suami di berbagai akun sosial dan blog. Keinginan itu pasti selalu ada, apalagi kalau posisi lagi kesel dan marah. Tapi sekuat tenaga saya mencoba untuk menghindarinya.

Saat berselisih paham dengan suami saya, saya biasanya diam (kadang marah-marah juga sih. hehehe…), paling banter nangis. Nangis sendiri. Saat itu pengen banget cerita tentang apa yang saya rasakan pada orang lain. Tapi saya tepis keinginan itu. Saya berusaha terlebih dahulu untuk berdamai dengan hati saya sendiri. Setelah itu biasanya saya tidur atau main-main dengan anak saya untuk menghilangkan bete. Nah, biasanya sih hilang sudah kekesalan saya dengan suami dan yang terlihat di mata saya hanya kebaikan-kebaikan suami saya saja.

Damai (Image from: www.rijuha.blogspot.com)

Damai (Image from: www.rijuha.blogspot.com)

Tidak Seperti yang Kita Inginkan/Bayangkan

Dalam satu hari banyak sekali yang terjadi dalam kehidupan kita, baik itu di kantor ataupun di rumah. Ada kalanya suami ingin berkeluh kesah pada istri begitu pula sebaliknya. Suami ingin mengeluh tentang apa yang terjadi di kantornya dan istri juga ingin mengeluh tentang kejadian-kejadian di rumah.

Saat ingin berkeluh kesah atau curhat pada pasangan, seringkali tanggapan dari pasangan kita tidak seperti apa yang kita harapkan atau bayangkan. Nah, kalau sudah begini biasanya kita jadi makin bete. Yang awalnya kita niat curhat untuk membagi uneg-uneg di hati, malah jadi semakin mendidih hati ini.

Saya dan suami pun sering mengalami hal itu. Awalnya sih bete, tapi lama kelamaan saya anteng aja dengan tanggapan yang tidak seperti saya inginkan. Saya jadi berhenti berharap akan dapat tanggapan bagus saat ingin cerita ke suami saya. Karena ya itu tadi, untuk menghindari kecewa yang ujung-ujungnya berakhir pada curhat ke seluruh dunia.

Saya mencoba untuk berdamai dengan hati.

Pihak Ketiga yang Netral

Yang namanya dua orang yang berbeda, berlawanan jenis pula, pasti beda otak dan beda hati. Banyak bedanya. Pebedaan itu yang seringkali membuat gesekan dalam rumah tangga. Masih belum lagi saat kita ingin curhat tentang masalah yang terjadi di rumah atau di kantor, tanggapan pasangan kita seringkali tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan atau harapkan. Ditambah lagi, kadangkala kita berpikiran “lho, kok dia gitu sih… dia dulu kan penyabar, begini, begitu, bla bla bla…”. Kalau masih jaman pacaran, yang kelihatan kan baik-baiknya aja. Tapi saat sudah hidup bersama, “borok” pasangan kita baru ketahuan.

Seringkali kita nggak kuat menghadapi kekurangan atau keburukan pasangan kita tersebut. Pengen curhat sih boleh saja. Tapi saran saya, hindari curhat dengan keluarga kita. Usahakan untuk curhat ke keluarga pasangan saja. Karena kalau kita curhat ke keluarga sendiri, keluarga kita pasti akan membela kita. Nah, ini bisa membuat masalah baru. Tapi kalau curhat ke keluarga pasangan (orangtuanya misalnya). Mereka kan lebih tahu tabiat pasangan kita dan bisa menasihati pasangan kita. Jadi kemungkinan memperkeruh suasana bisa dihindari. Jika tidak bisa curhat ke keluarga pasangan, curhatlah pada orang yang netral. Hindari curhat pada teman lawan jenis karena ini bisa memicu perselingkuhan. Kalau saya sih biasanya curhat pada psikiater, karena psikiater benar-benar orang netral yang tidak memiliki kepentingan apapun dengan rumah tangga saya dan bisa melihat dari dua sisi dengan seimbang.

Berdamai dengan HATI

Saat kita telah memutuskan untuk menikah dengan seseorang artinya kita sudah bersedia berkomitmen dengannya. Bersedia menerimanya apa adanya, semua kebaikannya dan keburukannya. Ketika keburukannya yang muncul, ya jangan komplain. Apalagi menggembar-gemborkannya di ruang publik. Cobalah untuk berdamai dengan hati dan menjaga komitmen.

Suami Saya LEBIH DARI MARIO TEGUH

Mario Teguh, salah satu motivator di Indonesia yang saat ini sedang naik daun. Show-nya setiap seminggu sekali tayang di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Melalui kata-katanya, secara langsung ataupun tidak langsung Mario Teguh mampu memotivasi sebagian orang di Indonesia untuk menjadi lebih baik.

Suami Saya (Marvin Sitorus)

Suami Saya (Marvin Sitorus)

Lain Mario Teguh, lain pula suami saya. Orang luar melihat suami saya sebagai sosok yang “slenge’an” dan kadang suka seenaknya sendiri. Ya, memang begitu adanya. Apalagi kalau orang sudah ngobrol dengan suami saya, pasti nggak bakalan ada yang percaya kalau suami saya (menurut saya) juga salah satu motivator yang handal. Gimana bakalan percaya, kalau udah ngobrol sama orang lain, suami saya seringkali membubuhi dengan kelakarnya yang bisa membuat semua orang yang mendengarnya tertawa.

Akan tetapi, setelah sekian tahun saya mendampingi suami saya, saya melihat sisi lain dari dirinya. Saya menemukan bahwa suami saya bisa juga dikategorikan sebagai motivator.

Jadi begini, saat ini untuk mendukung usaha kami, kami memiliki dua driver tetap dan beberapa driver freelance. Setelah mereka pulang kerja, kadang mereka ngobrol dengan suami saya. Nah saya seringkali mencuri dengan obrolan driver-driver itu dengan suami saya.

Memang, di satu sisi suami saya sangat humoris. Tapi ada sisi lain dalam dirinya yang kalau sudah bicara serius, bisa mencuci otak orang lain. Hal inilah yang diterapkannya jika sedang ngobrol serius dengan para driver kami.

Suami saya tidak ingin driver-driver kami hanya mentok di profesi itu. Suami saya ingin suatu saat nanti mereka bisa mandiri dan menjadi mitra kerja kami yang setara. Karena menurutnya, yang namanya hidup harus ada perubahan. Dan perubahan tersebut haruslah menuju yang lebih baik.

Dengan caranya, suami saya mampu mencuci otak driver-driver kami yang dulunya hanya berpikiran (maaf) kuli menjadi memiliki sedikit pemikiran untuk bisa menjadi pengusaha supaya hidupnya nanti bisa menjadi lebih baik. Selain “mencuci otak” driver kami, suami saya juga mengarahkan mereka bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang pengusaha. Nah disinilah saya menilai kalau suami saya LEBIH DARI Mario Teguh.

Mengapa saya menyimpulkan demikian? Karena menurut saya, suami saya benar-benar mengantarkan orang lain untuk meraih suksesnya, tidak hanya sekedar ngomong doang begini-begitu.

Suami saya melakukan semua itu karena dia berkaca dari Oma dan Opanya dulu. Oma dan Opa suami saya memiliki beberapa abdi yang setia. Tapi setelah Oma dan Opa suami saya meninggal, abdi-abdi tersebut hidupnya menjadi tidak jelas. Nah, dari situlah suami saya bertekad kalau ada orang yang bekerja dengannya, dia akan menjadikan orang itu mandiri. Supaya jika suatu saat nanti mereka sudah tidak bekerja lagi dengan suami saya, mereka bisa hidup mandiri. Sungguh mulia bukan?

Di mata saya, suami saya LEBIH DARI Mario Teguh. Dan ia merupakan salah satu motivator yang handal.

Apa Kabarmu Nak?

Anakku, apa kabarmu?

Aku kangen kamu. Kangen cerita-cerita, baca dan dengar curhatanmu tentang apapun itu. Tapi sepertinya sekarang semua akses untuk berkomunikasi denganmu sudah diputus total. Sedih.

Sungguh, aku hanya memikirkan perkembangan mentalmu jika lingkungan dimana kamu hidup saat ini tidak kondusif bagimu, hidup selalu dalam tekanan, ancaman dan selalu disalahkan.

Nak, yang namanya orangtua itu mengarahkan dan memberi solusi, bukan memaksakan kehendak, menyalahkan apalagi memaki.

Aku yakin nggak ada satupun orangtua yang menginginkan anaknya hancur, cuma cara yang dipakai dalam mendidik anak berbeda, ada yang dengan “kekerasan” ada yang mengarahkan. Walaupun aku bukan ibu biologismu, aku sangat memikirkan tentang perkembangan mentalmu yang bisa mempengaruhi masa depanmu nak.

Sama seperti orangtua lainnya, aku hanya ingin semua yang terbaik untuk anaknya. Namun memang seringkali apa yang menurut orangtua paling baik, tidak demikian dalam kacamata anak.

Aku hanya bisa berdoa semoga semua ketakutanku tak akan terjadi. Semoga innate endowment-mu menang dari pengaruh berbagai faktor lingkungan di sekelilingmu. Semoga kamu bisa mengoptimalkan kelebihan yang ada dalam dirimu walau bagaimanapun banyaknya orang lain yang kurang mendukung.  Semoga kamu bisa melewati masa-masa krisis (masa remaja) dengan sukses dengan atau tanpa orang dewasa yang bisa membimbingmu dengan bijak.  Ya… Semoga…

Aku sayang kamu nak…