Berdamai dengan HATI

Cerita Saya dan Suami

Di weblog saya ini saya selalu menceritakan yang baik-baik tentang suami saya. Bukan kenapa, karena dulu saya pernah satu kali menuliskan kekesalan saya pada suami dan ternyata banyak sekali komentar miring yang saya terima.

Saat menuliskan kekesalan saya terhadap suami, saya berharap kalau saya akan dapat penguatan dari orang lain. Tapi ternyata yang saya terima malah sebaliknya. Semakin banyak energi negatif yang saya terima. Oleh sebab itu saya langsung menghapus tulisan tersebut dan saya niatkan dalam hati bahwa saya tidak akan lagi menuliskan yang buruk-buruk tentang suami saya baik itu di blog, dan semua akun sosial saya. Selain itu, karena saya teringat akan obrolan saya dengan mama saya. Waktu itu mama bilang kalau buruknya pasangan kita biarlah kita sendiri yang tahu. Tidak perlulah orang lain ikut tahu.

Sama seperti manusia lainnya, suami saya juga tidak sempurna. Banyak kekurangannya. Dan sering juga ngeselin saya. Berantem? Perang mulut? Diem-dieman? Jangan ditanya lagi. Walaupun intensitasnya belum masuk kategori sering, tapi kami kerapkali berselisih paham.

Kesel, dongkol, pengen ngamuk-ngamuk, pengen curhat ke seluruh dunia juga seringkali saya alami. Namun saya selalu meredam keinginan untuk curhat ke seluruh dunia itu. Btw, tahu kan maksud saya dengan curhat ke seluruh dunia? Curhat-curhat tentang masalah rumah tangga apalagi sampai ngejelek-jelekin suami di berbagai akun sosial dan blog. Keinginan itu pasti selalu ada, apalagi kalau posisi lagi kesel dan marah. Tapi sekuat tenaga saya mencoba untuk menghindarinya.

Saat berselisih paham dengan suami saya, saya biasanya diam (kadang marah-marah juga sih. hehehe…), paling banter nangis. Nangis sendiri. Saat itu pengen banget cerita tentang apa yang saya rasakan pada orang lain. Tapi saya tepis keinginan itu. Saya berusaha terlebih dahulu untuk berdamai dengan hati saya sendiri. Setelah itu biasanya saya tidur atau main-main dengan anak saya untuk menghilangkan bete. Nah, biasanya sih hilang sudah kekesalan saya dengan suami dan yang terlihat di mata saya hanya kebaikan-kebaikan suami saya saja.

Damai (Image from: www.rijuha.blogspot.com)

Damai (Image from: www.rijuha.blogspot.com)

Tidak Seperti yang Kita Inginkan/Bayangkan

Dalam satu hari banyak sekali yang terjadi dalam kehidupan kita, baik itu di kantor ataupun di rumah. Ada kalanya suami ingin berkeluh kesah pada istri begitu pula sebaliknya. Suami ingin mengeluh tentang apa yang terjadi di kantornya dan istri juga ingin mengeluh tentang kejadian-kejadian di rumah.

Saat ingin berkeluh kesah atau curhat pada pasangan, seringkali tanggapan dari pasangan kita tidak seperti apa yang kita harapkan atau bayangkan. Nah, kalau sudah begini biasanya kita jadi makin bete. Yang awalnya kita niat curhat untuk membagi uneg-uneg di hati, malah jadi semakin mendidih hati ini.

Saya dan suami pun sering mengalami hal itu. Awalnya sih bete, tapi lama kelamaan saya anteng aja dengan tanggapan yang tidak seperti saya inginkan. Saya jadi berhenti berharap akan dapat tanggapan bagus saat ingin cerita ke suami saya. Karena ya itu tadi, untuk menghindari kecewa yang ujung-ujungnya berakhir pada curhat ke seluruh dunia.

Saya mencoba untuk berdamai dengan hati.

Pihak Ketiga yang Netral

Yang namanya dua orang yang berbeda, berlawanan jenis pula, pasti beda otak dan beda hati. Banyak bedanya. Pebedaan itu yang seringkali membuat gesekan dalam rumah tangga. Masih belum lagi saat kita ingin curhat tentang masalah yang terjadi di rumah atau di kantor, tanggapan pasangan kita seringkali tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan atau harapkan. Ditambah lagi, kadangkala kita berpikiran “lho, kok dia gitu sih… dia dulu kan penyabar, begini, begitu, bla bla bla…”. Kalau masih jaman pacaran, yang kelihatan kan baik-baiknya aja. Tapi saat sudah hidup bersama, “borok” pasangan kita baru ketahuan.

Seringkali kita nggak kuat menghadapi kekurangan atau keburukan pasangan kita tersebut. Pengen curhat sih boleh saja. Tapi saran saya, hindari curhat dengan keluarga kita. Usahakan untuk curhat ke keluarga pasangan saja. Karena kalau kita curhat ke keluarga sendiri, keluarga kita pasti akan membela kita. Nah, ini bisa membuat masalah baru. Tapi kalau curhat ke keluarga pasangan (orangtuanya misalnya). Mereka kan lebih tahu tabiat pasangan kita dan bisa menasihati pasangan kita. Jadi kemungkinan memperkeruh suasana bisa dihindari. Jika tidak bisa curhat ke keluarga pasangan, curhatlah pada orang yang netral. Hindari curhat pada teman lawan jenis karena ini bisa memicu perselingkuhan. Kalau saya sih biasanya curhat pada psikiater, karena psikiater benar-benar orang netral yang tidak memiliki kepentingan apapun dengan rumah tangga saya dan bisa melihat dari dua sisi dengan seimbang.

Berdamai dengan HATI

Saat kita telah memutuskan untuk menikah dengan seseorang artinya kita sudah bersedia berkomitmen dengannya. Bersedia menerimanya apa adanya, semua kebaikannya dan keburukannya. Ketika keburukannya yang muncul, ya jangan komplain. Apalagi menggembar-gemborkannya di ruang publik. Cobalah untuk berdamai dengan hati dan menjaga komitmen.