“Tentang Suami Saya” by Olivia

Saya wanita, sudah menikah tanpa dikaruniai seorang anak pun. Saya ingin menceritakan tentang suami saya.

Suami saya kalau lagi emosi sering bilang cerai atau tidak butuh kamu lagi. Itu memang sifatnya krn sy tau dia juga sering begitu kalau sedang marah dengan keluarganya (kakaknya/bapaknya). Dia sering bilang “kamu bukan siapa-siapaku lagi, aku gak butuh kamu lagi.”

Setelah baikan biasanya dia bilang itu hanya dimulut saja karena emosi. Selalu begitu kejadiannya dan setelah itu dia pasti baik lagi, begitu juga yang terjadi dengan keluarganya.

Namun, selain “ringan kata”, suami saya orangnya juga susah diajak bicara dari hati ke hati, jadi saya sulit menyampaikan bahwa saya tidak bisa diperlakukan sama seperti keluarganya. Menurut saya, keluarga kan selamanya akan tetap menjadi keluarga walaupun salah satu emosi bilang sudah bukan siapa-siapa lagi, sedangkan saya tidak bisa diperlakukan seperti itu terus… Seringkali kata-kata tersebut masuk ke perasaan (hati) dengan sendirinya…

Tabiat suami saya yang lain yang tidak saya suka adalah, suami saya termasuk orang yang mau menang sendiri dan tidak mau disalahkan walaupun seringkali dia yang salah. Jadi selalu saya yang minta maaf untuk menyelamatkan hubungan.

Semua hal tersebut lambat laun berpengaruh pada perasaan saya. Lama2 saya merasa dia bukan suami ideal. Dan itu berlanjut kepada ketidakbisaan saya menikmati hubungan badan dg dia, saya selalu merasa melayani orang lain bukan suami. Lama-lama suami saya tahu kalau saya terpaksa melakukannya.

Oh iya, satu hal lagi, saya muslim dan suami saya ternyata hanya islam KTP. Dia percaya pada Kepercayaan Terhadap Tuhan YME tapi juga punya sandaran orang pintar yang selalu dijadikan andalan kalau ada masalah pekerjaan dan sebagainya, dan hal ini saya sangat tidak suka dan tidak cocok.

Sekarang kami sedang pisah rumah. Saya bimbang apakah harus menyelamatkan pernikahan atau secepatnya mengakhiri dan memulai hidup baru. Karena sejujurnya saya masih menyayangi dia sebagai bagian dari keluarga dan kasihan kalau dia harus hidup sendirian, apalagi dengan sifatnya itu mungkin akan akan sulit menemukan orang yang bisa menerima dia.

Ada satu hal lagi, dia juga punya penyakit serius yang kemungkinan tidak ada yang akan mau mendampingi dia. Itu membuat saya kasihan dan ingin menemani dia tapi merasa dilema dengan perasaan yang saya miliki sekarang terhadap dia.

Saya mohon saran dari pembaca apa yg harus saya lakukan.

“Stress dengan Perilaku Suami” by Lia

Berawal dari kegalauan saya yang diserang masalah bertubi-tubi masalah dan bingung mau curhat ke siapa. Tidak sengaja saya menemukan web ini. Senang sekali deh…

Saya harap pembaca bisa membantu memberi solusi buat masalah saya yang super berat ini. Amin…

Panggil saja saya Lia, usia 23 tahun. Saya termasuk menikah di usia muda, kurang lebih 1 tahun yang lalu. Suami juga seusia dengan saya, cuma terpaut 4 bulan. Saat ini kami belum dikaruniai anak. Bisa dibilang saya memang sengaja untuk menunda punya anak. Kenapa? Disini akan saya ceritakan masalahnya 🙂

Sebut saja nama suami saya Tama. Dulu kami kuliah di kampus yang sama. Setelah berpacaran kurang lebih 3,5 tahun, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Alasan menikah karena saat itu kami menjalin hubungan jarak jauh karena masing-masing kami berprofesi sebagai PNS di provinsi yang berbeda. Kami harus resmi sebagai suami istri agar saya bisa mendapat ijin mutasi ikut suami.

Dari sejak pacaran saya sudah tahu watak Tama. Orangnya keras, tempramen, over protektif dan posesif. Tapi sisi baiknya, dia setia dan perhatian. Tama adalah pacar kedua saya. Karena saya punya trauma dengan pacar pertama yang mengkhianati saya dengan perempuan lain, Tama punya plus tersendiri di mata saya karena dia begitu setia. Tapi tidak jarang sifat pemarah Tama membuat saya ingin mengakhiri hubungan kami. Ketika sedang marah, Tama sering memukul tembok, banting barang, atau gebrak meja. Padahal marahnya cuma karena hal sepele, misalnya saya tidak bisa datang waktu band dia manggung di acara kampus. Sering saya menangis. Namun saya selalu bersabar, karena saya pikir sifat seperti itu suatu saat bisa saja berubah. Akhirnya selama kami pacaran, saya lebih banyak mengalah. Oh iya, selain itu, Tama juga sangat-sangat pencemburu. Pergaulan saya agak dibatasi kalau dengan laki-laki. Misalnya saya tidak boleh tersenyum atau menyapa duluan ketika bertemu teman laki-laki.

Singkat cerita, 6 bulan sebelum kami menikah, saat itu seluruh persiapan pernikahan telah rampung, saya bertemu dengan laki-laki yang usianya lebih muda 2 tahun dari saya. Sebut saja namanya Rico. Awalnya Rico cuma saya anggap sebagi sahabat dan partner curhat yang baik. Walaupun usianya di bawah saya, tapi Rico sungguh bijaksana. Tidak jarang saya cerita tentang perilaku-perilaku kasar Tama ke saya dan dia bisa memberi solusi yang baik.

Berawal dari rasa kagum dengan cara berfikir Rico yang lebih dewasa dari umurnya, sifatnya yang begitu santun, dan ketaatannya pada agama, lama-lama benih cinta muncul di hati saya. Tapi saya sadar diri dengan status saya yang sebentar lagi akan menikah, apalagi yang saya tahu Rico sudah punya pacar di kota lain. Saya tidak mau merusak hubungan orang. Akhirnya perasaan ini cukup saya pendam dalam hati. Hingga 2 minggu sebelum hari H pernikahan, saya sudah tak sanggup lagi menahan. Saya katakan yang sejujurnya pada Rico bahwa sudah lama saya menginginkannya. Ternyata saya begitu kaget dengan reaksi Rico. Dia juga selama ini punya perasaan yang sama dengan saya, namun dia begitu takut berkata jujur karena dia tidak mau merusak rencana pernikahan saya apalagi usianya 2 tahun di bawah saya membuat dia merasa minder untuk menyatakan cinta.

Dengan perasaan menyesal bercampur ragu, saya terpaksa terus melanjutkan pernikahan. Saat itu yang ada di fikiran saya hanya orangtua dan keluarga besar. Saya terlalu takut untuk membuat malu mereka, karena semua persiapan sudah selesai dan undangan sudah disebar. Rico begitu sedih melepas saya. Dia depresi, begitu juga dengan saya. Tapi apa mau dikata, bagi saya nama baik orangtua tetap yang utama. Saya terpaksa merahasiakan dari Tama, apa yang pernah terjadi antara saya dan Rico. Beberapa bulan setelah menikah, saya akhirnya mutasi ke kota suami.

Stress (Image by: www.azumio.com)

Stress (Image by: www.azumio.com)

Tak disangka Tama akhirnya mengetahui tentang “keakraban” saya dengan Rico di masa-masa menjelang pernikahan kami dahulu. Tama marah besar. Dia meninju tembok berkali-kali. Saya berusaha menenangkan dan meminta maaf. Saya jelaskan bahwa itu hanyalah masa lalu yang tak perlu dibawa dan diungkit-ungkit lagi karena hanya akan menganggu pernikahan kami jika diungkit terus. Tapi nampaknya sejak itu Tama jadi dendam dengan saya. Dia juga semakin over posesif dan sangat curigaan. Tidak jarang saya dituduh selingkuh dengan berbagai alasan. Padahal semua tidak ada buktinya sama sekali.

Sejak menikah juga perangai Tama menjadi semakin pemarah. Lebih parah dibanding masa-masa pacaran dulu. Tama juga sangat boros. Hobinya bermusik sering menjadi sumber keributan kami. Dia menghabiskan uang berpuluh-puluh juta hanya untuk membeli alat musik dan nonton konser musik. Sama sekali dia tidak menggubris nasehat saya agar ia mulai memikirkan untuk menabung, demi masa depan kami, dan kelak kalo punya anak. Sekarang saya hampir sudah tidak pernah dinafkahi lagi. Saya hidup dengan penghasilan saya sendiri. Saya bilang ke Tama, “jatah makan” saya lebih baik dia simpan untuk tabungan bersama. Bukannya merasa tertampar dengan perkataan saya, Tama malah seolah-olah senang karena tidak perlu membiayai hidup saya lagi. Berapa penghasilannya per bulan pun saya tidak tahu persis, karena Tama tidak transparan soal keuangan.

Satu lagi hal yang membuat saya sedih. Tama membeda-bedakan orangtua saya dan orangtuanya, keluarga saya dengan keluarganya. Misalnya jika dia membelikan makanan atau barang dan memberi uang ke sepupu atau keponakan-keponakannya. Jelas sekali dia membeda-bedakan.

Terus terang saat ini saya benar2 tertekan dengan sifat Tama. Saya sudah berusaha menasehatinya dengan cara pelan ataupun kasar, tapi semua tidak berhasil. Tama terlalu keras kepala dan egois. Saat ini berat badan saya sudah turun drastis, hampir 8 kilo. Memang Tama belum pernah menyakiti saya secara fisik, tapi sungguh psikis saya sangat tersiksa.

Apa saya harus menggugat cerai? Mengingat kami belum dikaruniai anak, karena saya pikir kalo sudah punya anak akan lebih banyak lagi pertimbangan.

Terimakasih untuk pembaca yang sudah membaca cerita saya.
Akan sangat berterimakasih jika pembaca mau membantu memberi solusi atau nasehat-nasehat bermanfaat buat saya.

Apa Kabarmu Nak?

Anakku, apa kabarmu?

Aku kangen kamu. Kangen cerita-cerita, baca dan dengar curhatanmu tentang apapun itu. Tapi sepertinya sekarang semua akses untuk berkomunikasi denganmu sudah diputus total. Sedih.

Sungguh, aku hanya memikirkan perkembangan mentalmu jika lingkungan dimana kamu hidup saat ini tidak kondusif bagimu, hidup selalu dalam tekanan, ancaman dan selalu disalahkan.

Nak, yang namanya orangtua itu mengarahkan dan memberi solusi, bukan memaksakan kehendak, menyalahkan apalagi memaki.

Aku yakin nggak ada satupun orangtua yang menginginkan anaknya hancur, cuma cara yang dipakai dalam mendidik anak berbeda, ada yang dengan “kekerasan” ada yang mengarahkan. Walaupun aku bukan ibu biologismu, aku sangat memikirkan tentang perkembangan mentalmu yang bisa mempengaruhi masa depanmu nak.

Sama seperti orangtua lainnya, aku hanya ingin semua yang terbaik untuk anaknya. Namun memang seringkali apa yang menurut orangtua paling baik, tidak demikian dalam kacamata anak.

Aku hanya bisa berdoa semoga semua ketakutanku tak akan terjadi. Semoga innate endowment-mu menang dari pengaruh berbagai faktor lingkungan di sekelilingmu. Semoga kamu bisa mengoptimalkan kelebihan yang ada dalam dirimu walau bagaimanapun banyaknya orang lain yang kurang mendukung.  Semoga kamu bisa melewati masa-masa krisis (masa remaja) dengan sukses dengan atau tanpa orang dewasa yang bisa membimbingmu dengan bijak.  Ya… Semoga…

Aku sayang kamu nak…

Menjadi Ibu vs. Aktualisasi Diri

Semalam anak saya, Avi, rewel sekitar jam 2 malam dan dia baru bisa tidur jam 3-an. Setelah Avi tertidur saya mencoba untuk tidur lagi juga. Tapi nggak bisa-bisa walaupun mata sudah dimerem-meremin. Alhasil saya jadi stalking akun twitter dan FB beberapa teman saya pas jaman kuliah dan SMA dulu.

Waw, ternyata teman saya hebat-hebat. Banyak yang lanjut S2 ke luar negeri, kerja di perusahaan besar yang mapan. Dan beberapa diantaranya ada yang dapat penghargaan ini-itu.

Hhhmmm… Jujur, terbersit rasa iri di hati saya. Saya juga ingin kembali ke dunia akademisi, lanjut S2 di luar negeri dan berusaha untuk bisa ngajar (lagi). Tapi keinginan-keinginan tersebut selalu luntur karena harus bertanggung jawab atas amanah yang telah dititipkan Allah untuk saya. Masih ada orang lain yang saat ini masih sangat membutuhkan kehadiran saya setia harinya.

Ya, orang lain tersebut adalah anak saya, darah daging saya.

Menikmati Menjadi Ibu

Menikmati Menjadi Ibu

Tiap kali menatap mata Avi rasanya saya nggak mau melewatkan satu haripun tanpa bersamanya. Saya takut nanti saya akan menyesal kalau sampai melewatkan pertumbuhan dan perkembangan anak saya yang sangat pesat akhir-akhir ini.

Ternyata begini ya rasanya jadi seorang ibu…

Anyway, sejak November 2012 lalu, di rumah ada asisten rumah tangga. Tugasnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, ngepel, beres-beres rumah, dll dan menjaga Avi kalau saya lagi riweuh dengan urusan kantor. Emang sih kantor dengan kamar saya hanya berjarak 5 langkah saja. Tapi Avi selalu takut kalau ditinggal main sendirian. Dan saya khawatir aja kalau misalnya saya lagi hectic dengan urusan pekerjaan, trus saya agak kurang perhatian sama apa yang dilakukan Avi, nanti terjadi hal-hal yang nggak diinginkan. Makanya butuh orang yang menjaga Avi kalau saya lagi sibuk urus kerjaan.

Walaupun sudah jalan 3 bulan si mbok ada di rumah, Avi selalu menolak kalau diajak main sama dia. Avi juga jadi sangat kegirangan kalau saya beres ngurus kerjaan dan mengajaknya bermain lagi.

Aaahhh, siapa coba yang tega ninggalin anak seperti Avi demi kepuasan ego pribadi.

Hidup itu pilihan. Kawan-kawan saya boleh mencapai ini-itu dalam hidupnya dan saya stuck di posisi sekarang ini. Tapi saya memilih untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya, menjadi full time mother. Melihat senyum Avi, mendengar tawanya, memperhatikan perkembangannya, bahkan tersiksa dengan tangisnya yang luar biasa kencang, tak bisa tergantikan dengan hanya sekedar kepuasan mengaktualisasikan diri.

Saya yakin banyak wanita yang juga merasakan hal yang sama seperti saya. Terutama yang dulunya aktif bekerja dan aktif di beragam kegiatan. Tapi yakinlah, membesarkan anak dengan tanganmu sendiri itu jauh lebih mulia daripada kepuasan aktualisasi diri.

Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Awal Nge-blog

Saya mulai mengenal blog sejak tahun 2006. Waktu itu ada seorang teman, ups lebih tepatnya mantan yang ngajarin saya bikin blog. Akhirnya jadilah satu akun blog di worpress.com dengan judul www.okvina.wordpress.com.

Di blog pertama saya itu awalnya content-nya lebih banyak curhatan nggak penting daripada tulisan-tulisan bermutu. Hingga pada suatu saat ada salah seorang teman yang ngomentarin blog saya. Dia bilang begini “Vina, isinya koq diary aja seh? tulisan-tulisan, makalah-makalah, tugas-tugas kuliah yang berbentuk karya tulis bagus juga lho kalo dimasukin dalam blogmu… hanya saran”. Sejak saat itu saya jadi terpikir, oh iya ya, kenapa nggak saya masukin tulisan-tulisan yang sedikit bermutu di blog saya? 🙂

Perjalanan Blog Saya

Seiring dengan bergulirnya waktu, tulisan yang ada di blog saya nggak hanya berisi tentang curhatan nggak penting tentang diri sendiri. Saya juga memasukkan beberapa tulisan yang lumayan berbobot. Sebenernya sih banyak dari tugas kuliah dan beberapa ringkasan karya tulis yang saya buat.

Pembaca blog saya mulai beragam. Saya mulai membuat tulisan yang ber-content “nyerempet” ke psikologi populer. Tulisan saya seringkali saya kaitkan dengan beberapa teori yang saya peroleh di bangku kuliah. Selain itu, saya juga mulai menulis cerita-cerita traveling saya. Hingga pada bulan April 2010 saya membeli satu domain (www.ladiestraveler.com) yang khusus untuk cerita-cerita traveling saya.

Blogging

After Married

Setelah menikah saya tinggal di Bali. Di kantor dan juga di rumah ada koneksi internet. Setiap hari saya harus berhadapan dengan internet karena pekerjaan suami saya tidak bisa lepas dari koneksi internet. Jadilah saya bosan dengan hal itu. Akhirnya saya ingin punya satu blog yang isinya khusus berisi curhatan para istri (terutama saya, hehehe). Jadilah suami saya membelikan saya domain www.celotehistri.com.

Di weblog celoteh istri ini saya menulis banyak hal. Dan terutama curhatan saya yang sering dibikin spot jantung dengan kondisi “newly wed”, “newly mom” dan “post power sindrome”.

Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Anyway, saya dan suami berasal dari dua dunia yang berbeda (halah!). Maksudnya bukan yang satu dunia gaib dan yang satu lagi dunia nyata, tapi latar belakang kami sangat berbeda. Saya orang Jawa, suami orang Batak-Ambon. Saya anak terakhir, suami saya anak pertama. Otak saya berkembang di dunia akademisi, otak suami saya berkembang di jalanan (yang tentunya jadi lebih realistis dalam segala hal). Yang pasti, saya dan suami sangat bersebrangan lah.

Semua hal tersebut seringkali menyulut emosi tingkat tinggi antara kami berdua. Awalnya saya juga berang kalau suami sudah pakai nada yang satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. Tapi lama kelamaan saya jadi capek dan bosan sendiri. Kalau suami saya lagi emosi atau kalau saya yang sedang  dibakar amarah karena beberapa sikapnya yang tidak saya suka, saya biasanya diam (walopun di hati sudah seperti ada kawah yang mau memuntahkan semua laharnya). Setelah suami dan anak saya terlelap, biasanya saya browsing dan update blog. Disaat itulah merupakan saat terpenting bagi saya untuk menurunkan emosi dalam diri. Yang awalnya pengen banget nulis semua kejelekan suami, jadi berbalik arah menjadi mengingat semua kebaikan yang ada dalam diri suami dan menuliskannya dalam blog. Hal ini sangat membantu sekali mengurangi “perang dingin” antara kami berdua.

Ya, saya sudah nge-blog sejak tahun 2006. Banyak sekali manfaat yang saya peroleh dari blog saya. Salah satunya yang terpenting adalah, dengan ngeblog bisa meminimalisir volume pertengkaran dan lama waktu “perang dingin” saya dengan suami.

Suka-Dukanya jadi Istri

Amazing Wife (Image from: www.everydaypeoplecartoons.com)

Siapa bilang jadi istri itu mudah? Kalo menurut saya sih susah-susah gampang. Banyak enaknya dan banyak juga nggak enaknya. Gimana nggak begitu, dua orang manusia harus bersatu, hidup serumah, tinggal bareng setiap hari. Bangun tidur yang kita lihat orang itu dan mau tidur juga orang itu lagi… Fiuuuhhh, kadang rasa bosan nggak bisa ditepis.

Saya orang Jawa sedangkan suami saya campuran Batak-Ambon (beuuhhh, kombinasi yang sempurna kan? hehehe…). Tipikal orang Jawa yang kalem, lemah gemulai kayak putri Solo plus mudah sakit hati harus berhadapan dengan Tipikal orang Batak-Ambon yang kalau ngomong blak-blakan (yang sering bikin sakit hati) plus nada keras seperti orang yang lagi ngebentak. Ya, bisa dipastikan kalau sering terjadi “gonjang-ganjing” di rumah. Hahaha…

Oh iya, masih belum lagi kalau suami saya yang teramat sangat ramah (terutama sama yang namanya perempuan), berbuat hal-hal (yang menurutnya) “konyol”, tapi bikin saya cemburu setengah gila! Huaaa, bisa hancur rumah kami. Putri Solo bisa berubah menjadi monster ganas secara tiba-tiba! Wekekek…

Karena dua orang yang berbeda, otak yang berbeda dan hati yang juga berbeda harus menjadi satu maka bukan hal yang mustahil kalau terjadi kres diantara pasangan suami istri. Bigitupun juga dengan saya dan suami saya. Seringkali terjadi miskomunikasi diantara kami berdua. Saat suami saya bilang apa, saya nangkepnya kemana. Atau kalau suami saya ngomong apa saya menanggapinya dengan pemikiran yang telah “loncat dua-tiga kali” dari yang seharusnya. Tak ayal hal ini membuatnya uring-uringan karena tanggapan dari saya nggak sesuai dengan yang (mungkin) diharapkannya.

Kalau misalnya nggak ada salah satu pihak yang mau ngalah dan berjiwa besar, mungkin seumur jagung perkawinan saya telah kandas. Amit-amit deh!

Hhhmmm, jadi istri itu enak lho. Kita memiliki seseorang yang selalu ditunggu untuk pulang ke rumah. Kita punya seseorang yang pasti akan selalu menghabiskan makanan kita bagaimanapun rasa masakan itu. Kita punya seseorang yang pasti akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita. Kita punya seseorang yang pasti akan mendengarkan keluh kesah kita. Kita punya seseorang yang bisa diajak mimpi bersama dan berusaha mewujudkan mimpi itu.

Saya sampai pada satu kesimpulan menjadi seorang istri dan memiliki seorang suami itu enaknya kita memiliki teman hidup, seorang sahabat sejati. Ya, memiliki sahabat sejati. Itulah enaknya menjadi seorang istri.