Ta’in

Ta’in, saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan anak ini. Tapi saya mengenal Ta’in melalui cerita dari mama saya. Seperti biasa, ritual yang selalu saya lakukan jika pulang ke rumah atau jika mama saya ke Bogor adalah tidur bersama mama yang sebelumnya diisi dengan saling cerita dan saling curhat. Beberapa minggu yang lalu, mama ke Bogor karena ada saudara saya yang menikah di Bandung. Dan momen tersebut tidak saya sia-siakan untuk melakukan ritual sebelum tidur bersama mama saya.

Waktu itu, mama menceritakan bahwa ada seorang anak tetangga kami yang diundang oleh ITB untuk mengikuti ujian masuk ITB melalui jalur prestasi (semua biaya untuk ujian ini ditanggung oleh pihak ITB, termasuk didalamnya biaya transportasi ke Bandung dan juga akomodasi selama di Bandung, jadi orang tua si anak tidak mengeluarkan uang sepeserpun). Ta’in merupakan anak yang cerdas, ia selalu menduduki peringkat pertaman di kelasnya saat ia menempuh pendidikan SMA. Namun, sayang ia berasal dari keluarga kurang mampu. Ta’in adalah seorang anak yatim, ia hanya tinggal bersama ibunya yang mata pencaharian sehari-harinya hanyalah membantu pekerjaan rumah tangga tetangga-tetangganya. Mama saya kenal baik dengan ibu Ta’in.

Saya rasa tak ada satu orang tua pun yang tidak bangga anaknya diundang oleh salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengikuti ujian masuknya melalui jalur prestasi yang tidak mengharuskan orang tua tersebut membayar sepeserpun. Hal itulah yang dirasakan ibu Ta’in. Namun, kebanggaan ibu Ta’in tersebut dipatahkan oleh komentar dari beberapa tetangga yang mungkin (menurut saya) iri dengan prestasi yang diraih oleh Ta’in. Mereka bilang, “mana mungkin pembantu bisa nguliahin anaknya tinggi-tinggi”. Sedih saya mendengar komentar skeptis dari para tetangga itu, begitu juga dengan mama. Saat itu mama saya cuman bisa melapangkan hati dan menyemangati ibu Ta’in.

Sehari sebelum Ta’in berangkat ke Bandung untuk mengikuti ujian masuk ITB, mama saya sengaja berkunjung ke rumah Ta’in untuk sekedar memberikan semangat pada Ta’in. Disitulah Ta’in banyak bercerita pada mama. Ia bercerita bahwa ia ingin keadaan keluarganya berubah. Sejak kecil ia selalu melihat ibunya diberi uang oleh orang lain yang iba dengan keadaan keluarganya, dan ia berkeinginan suatu saat nanti ia bisa memberi uang kepada orang lain. Ia bertekad untuk sekolah yang tinggi, karena ia berkeyakinan hanya dengan pendidikanlah ia mampu mengubah keadaan keluarganya. Ia juga bilang pada mama saya, “saya akan berjuang untuk bisa kuliah, walaupun untuk hal itu saya harus tinggal di masjid dan saya harus mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai hidup saya dan kuliah saya, saya akan lakukan hal itu. Yang pasti saya ingin tetap kuliah bu…”. Ya Tuhan, saya menitikkan air mata saat mendengar cerita mama saya itu (dan saya juga teringat dengan novel-novel Andrea Hirata). Saya sangat terharu sekaligus bangga dengan Ta’in. Belum selesai sampai disitu, mama saya juga bercerita pada saya bahwa Ta’in juga berkata, “kalau saya tidak lolos masuk ITB, semoga di SMPTN saya lolos, dan saya bisa masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember. Saya sangat ingin kuliah di pertanian”. Sebagai salah satu almamater Institut Pertanian Bogor, saya semakin kagum dan bangga dengan Ta’in, ternyata masih ada generasi penerus bangsa ini yang benar-benar ingin mempelajari ilmu pertanian. J

Ta’in, seorang lelaki dari salah satu pelosok desa yang ada di Indonesia. Nasibnya tidak seberuntung kita. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, tidak menjadikannya pribadi yang pasrah pada nasib, ia justru memiliki keinginan dan semangat yang kuat untuk mengubah nasibnya… Karakter inilah yang paling penting dan saya yakin mampu untuk mengubah nasibnya.

Teruntuk Ta’in, jangan pernah menyerah pada keadaan… saya sudah pernah membuktikan, dengan keinginan yang kuat serta usaha yang besar, apapun yang kita inginkan Insya Allah akan jadi kenyataan, bahkan kadangkala diluar perkiraan kita…

Jangan pedulikan omongan orang lain Ta’in, anggap saja itu angin lalu. Hanya kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita dan sampai dimana kemampuan kita…

Lakukan yang terbaik yang kamu bisa Ta’in dan jangan lupa juga untuk selalu berdoa pada Tuhan supaya jalanmu menuju yang kamu inginkan diberi kemudahan olehNya…

Saya sangat bangga dengan kamu Ta’in dan saya juga yakin kalau kamu nanti bisa jadi “orang besar”…

Kata kuncinya cuman satu Ta’in, Never Give Up!! J

Ta’in, saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan anak ini. Tapi saya mengenal Ta’in melalui cerita dari mama saya. Seperti biasa, ritual yang selalu saya lakukan jika pulang ke rumah atau jika mama saya ke Bogor adalah tidur bersama mama yang sebelumnya diisi dengan saling cerita dan saling curhat. Beberapa minggu yang lalu, mama ke Bogor karena ada saudara saya yang menikah di Bandung. Dan momen tersebut tidak saya sia-siakan untuk melakukan ritual sebelum tidur bersama mama saya.

Waktu itu, mama menceritakan bahwa ada seorang anak tetangga kami yang diundang oleh ITB untuk mengikuti ujian masuk ITB melalui jalur prestasi (semua biaya untuk ujian ini ditanggung oleh pihak ITB, termasuk didalamnya biaya transportasi ke Bandung dan juga akomodasi selama di Bandung, jadi orang tua si anak tidak mengeluarkan uang sepeserpun). Ta’in merupakan anak yang cerdas, ia selalu menduduki peringkat pertaman di kelasnya saat ia menempuh pendidikan SMA. Namun, sayang ia berasal dari keluarga kurang mampu. Ta’in adalah seorang anak yatim, ia hanya tinggal bersama ibunya yang mata pencaharian sehari-harinya hanyalah membantu pekerjaan rumah tangga tetangga-tetangganya. Mama saya kenal baik dengan ibu Ta’in.

Saya rasa tak ada satu orang tua pun yang tidak bangga anaknya diundang oleh salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengikuti ujian masuknya melalui jalur prestasi yang tidak mengharuskan orang tua tersebut membayar sepeserpun. Hal itulah yang dirasakan ibu Ta’in. Namun, kebanggaan ibu Ta’in tersebut dipatahkan oleh komentar dari beberapa tetangga yang mungkin (menurut saya) iri dengan prestasi yang diraih oleh Ta’in. Mereka bilang, “mana mungkin pembantu bisa nguliahin anaknya tinggi-tinggi”. Sedih saya mendengar komentar skeptis dari para tetangga itu, begitu juga dengan mama. Saat itu mama saya cuman bisa melapangkan hati dan menyemangati ibu Ta’in.

Sehari sebelum Ta’in berangkat ke Bandung untuk mengikuti ujian masuk ITB, mama saya sengaja berkunjung ke rumah Ta’in untuk sekedar memberikan semangat pada Ta’in. Disitulah Ta’in banyak bercerita pada mama. Ia bercerita bahwa ia ingin keadaan keluarganya berubah. Sejak kecil ia selalu melihat ibunya diberi uang oleh orang lain yang iba dengan keadaan keluarganya, dan ia berkeinginan suatu saat nanti ia bisa memberi uang kepada orang lain. Ia bertekad untuk sekolah yang tinggi, karena ia berkeyakinan hanya dengan pendidikanlah ia mampu mengubah keadaan keluarganya. Ia juga bilang pada mama saya, “saya akan berjuang untuk bisa kuliah, walaupun untuk hal itu saya harus tinggal di masjid dan saya harus mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai hidup saya dan kuliah saya, saya akan lakukan hal itu. Yang pasti saya ingin tetap kuliah bu…”. Ya Tuhan, saya menitikkan air mata saat mendengar cerita mama saya itu (dan saya juga teringat dengan novel-novel Andrea Hirata). Saya sangat terharu sekaligus bangga dengan Ta’in. Belum selesai sampai disitu, mama saya juga bercerita pada saya bahwa Ta’in juga berkata, “kalau saya tidak lolos masuk ITB, semoga di SMPTN saya lolos, dan saya bisa masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember. Saya sangat ingin kuliah di pertanian”. Sebagai salah satu almamater Institut Pertanian Bogor, saya semakin kagum dan bangga dengan Ta’in, ternyata masih ada generasi penerus bangsa ini yang benar-benar ingin mempelajari ilmu pertanian. J

Ta’in, seorang lelaki dari salah satu pelosok desa yang ada di Indonesia. Nasibnya tidak seberuntung kita. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, tidak menjadikannya pribadi yang pasrah pada nasib, ia justru memiliki keinginan dan semangat yang kuat untuk mengubah nasibnya… Karakter inilah yang paling penting dan saya yakin mampu untuk mengubah nasibnya.

Teruntuk Ta’in, jangan pernah menyerah pada keadaan… saya sudah pernah membuktikan, dengan keinginan yang kuat serta usaha yang besar, apapun yang kita inginkan Insya Allah akan jadi kenyataan, bahkan kadangkala diluar perkiraan kita…

Jangan pedulikan omongan orang lain Ta’in, anggap saja itu angin lalu. Hanya kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita dan sampai dimana kemampuan kita…

Lakukan yang terbaik yang kamu bisa Ta’in dan jangan lupa juga untuk selalu berdoa pada Tuhan supaya jalanmu menuju yang kamu inginkan diberi kemudahan olehNya…

Saya sangat bangga dengan kamu Ta’in dan saya juga yakin kalau kamu nanti bisa jadi “orang besar”…

Kata kuncinya cuman satu Ta’in, Never Give Up!! J

Ta’in, saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan anak ini. Tapi saya mengenal Ta’in melalui cerita dari mama saya. Seperti biasa, ritual yang selalu saya lakukan jika pulang ke rumah atau jika mama saya ke Bogor adalah tidur bersama mama yang sebelumnya diisi dengan saling cerita dan saling curhat. Beberapa minggu yang lalu, mama ke Bogor karena ada saudara saya yang menikah di Bandung. Dan momen tersebut tidak saya sia-siakan untuk melakukan ritual sebelum tidur bersama mama saya.

Waktu itu, mama menceritakan bahwa ada seorang anak tetangga kami yang diundang oleh ITB untuk mengikuti ujian masuk ITB melalui jalur prestasi (semua biaya untuk ujian ini ditanggung oleh pihak ITB, termasuk didalamnya biaya transportasi ke Bandung dan juga akomodasi selama di Bandung, jadi orang tua si anak tidak mengeluarkan uang sepeserpun). Ta’in merupakan anak yang cerdas, ia selalu menduduki peringkat pertaman di kelasnya saat ia menempuh pendidikan SMA. Namun, sayang ia berasal dari keluarga kurang mampu. Ta’in adalah seorang anak yatim, ia hanya tinggal bersama ibunya yang mata pencaharian sehari-harinya hanyalah membantu pekerjaan rumah tangga tetangga-tetangganya. Mama saya kenal baik dengan ibu Ta’in.

Saya rasa tak ada satu orang tua pun yang tidak bangga anaknya diundang oleh salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengikuti ujian masuknya melalui jalur prestasi yang tidak mengharuskan orang tua tersebut membayar sepeserpun. Hal itulah yang dirasakan ibu Ta’in. Namun, kebanggaan ibu Ta’in tersebut dipatahkan oleh komentar dari beberapa tetangga yang mungkin (menurut saya) iri dengan prestasi yang diraih oleh Ta’in. Mereka bilang, “mana mungkin pembantu bisa nguliahin anaknya tinggi-tinggi”. Sedih saya mendengar komentar skeptis dari para tetangga itu, begitu juga dengan mama. Saat itu mama saya cuman bisa melapangkan hati dan menyemangati ibu Ta’in.

Sehari sebelum Ta’in berangkat ke Bandung untuk mengikuti ujian masuk ITB, mama saya sengaja berkunjung ke rumah Ta’in untuk sekedar memberikan semangat pada Ta’in. Disitulah Ta’in banyak bercerita pada mama. Ia bercerita bahwa ia ingin keadaan keluarganya berubah. Sejak kecil ia selalu melihat ibunya diberi uang oleh orang lain yang iba dengan keadaan keluarganya, dan ia berkeinginan suatu saat nanti ia bisa memberi uang kepada orang lain. Ia bertekad untuk sekolah yang tinggi, karena ia berkeyakinan hanya dengan pendidikanlah ia mampu mengubah keadaan keluarganya. Ia juga bilang pada mama saya, “saya akan berjuang untuk bisa kuliah, walaupun untuk hal itu saya harus tinggal di masjid dan saya harus mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai hidup saya dan kuliah saya, saya akan lakukan hal itu. Yang pasti saya ingin tetap kuliah bu…”. Ya Tuhan, saya menitikkan air mata saat mendengar cerita mama saya itu (dan saya juga teringat dengan novel-novel Andrea Hirata). Saya sangat terharu sekaligus bangga dengan Ta’in. Belum selesai sampai disitu, mama saya juga bercerita pada saya bahwa Ta’in juga berkata, “kalau saya tidak lolos masuk ITB, semoga di SMPTN saya lolos, dan saya bisa masuk Fakultas Pertanian Universitas Jember. Saya sangat ingin kuliah di pertanian”. Sebagai salah satu almamater Institut Pertanian Bogor, saya semakin kagum dan bangga dengan Ta’in, ternyata masih ada generasi penerus bangsa ini yang benar-benar ingin mempelajari ilmu pertanian. J

Ta’in, seorang lelaki dari salah satu pelosok desa yang ada di Indonesia. Nasibnya tidak seberuntung kita. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, tidak menjadikannya pribadi yang pasrah pada nasib, ia justru memiliki keinginan dan semangat yang kuat untuk mengubah nasibnya… Karakter inilah yang paling penting dan saya yakin mampu untuk mengubah nasibnya.

Teruntuk Ta’in, jangan pernah menyerah pada keadaan… saya sudah pernah membuktikan, dengan keinginan yang kuat serta usaha yang besar, apapun yang kita inginkan Insya Allah akan jadi kenyataan, bahkan kadangkala diluar perkiraan kita…

Jangan pedulikan omongan orang lain Ta’in, anggap saja itu angin lalu. Hanya kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita dan sampai dimana kemampuan kita…

Lakukan yang terbaik yang kamu bisa Ta’in dan jangan lupa juga untuk selalu berdoa pada Tuhan supaya jalanmu menuju yang kamu inginkan diberi kemudahan olehNya…

Saya sangat bangga dengan kamu Ta’in dan saya juga yakin kalau kamu nanti bisa jadi “orang besar”…

Kata kuncinya cuman satu Ta’in, Never Give Up!! J

Leave a Reply