Siapkah Kita?

Beberapa minggu yang lalu salah seorang teman suami saya meninggal dunia. Untuk membantu istrinya, suami saya mengurus pengiriman jenazah ke kampung halamannya di Medan dan saya membantu mencarikan tiket pesawat untuk istri teman suami saya tersebut beserta kedua buah hatinya.

Bukan sesuatu yang mudah mencarikan tiket pesawat hari itu juga untuk rute penerbangan Denpasar-Medan. Pun demikian dengan urusan pengiriman jenazah. Tapi Alhamdulilah sebelum pukul 11 WITA semua masalah sudah clear. Okay, saya nggak akan membahas tentang urusan pengiriman jenazah ataupun tiket pesawat. Yang akan saya bahas adalah perasaan yang kemudian timbul setelah semua masalah hari itu selesai kami urus.

Sebagai seorang istri, jujur saya ikut berduka atas apa yang terjadi pada teman suami saya itu. Dan tiba-tiba terbersit dalam benak saya bagaimana jika saya yang mengalami hal itu. Saya harus kehilangan suami disaat anak masih belum dewasa. Saya harus memikul sendiri biduk rumah tangga yang selama ini kami bina. Dan pada satu waktu saya juga harus bisa bertanggungjawab sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai kepala keluarga. Ibu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluan rumah dan mendidik anak, sekaligus saya harus memikirkan bagaimana caranya agar besok kami tetap bisa makan tanpa mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Ah, rasanya saya tak kan sanggup menjalani semua itu.

Tak terasa setitik air mata tiba-tiba muncul. Saya tiba-tiba merasa sedih. Sedih sekali. Sedih membayangkan hidup hanya dengan anak. Sedih membayangkan jika harus kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tempat kita bercerita, bersandar dan berkeluh kesah. Terlebih lagi sedih membayangkan keseharian yang nantinya akan dihadapi tanpa kehadiran seseorang yang biasanya selalu ada. Ah, saya benar-benar merasa tidak akan sanggup menjalaninya.

Saat ini saya hanya tinggal bertiga dengan suami dan satu anak kami yang masih berusia 2 tahun. Kami memiliki banyak sekali mimpi dan harapan di masa depan, terutama di masa tua kami nanti. Namun jika takdir yang akan terjadi nanti tidak sejalan dengan harapan, maka (terutama) saya harus siap untuk menghadapi segala sesuatunya.

Saya bisa membayangkan sedih tak berkesudahan yang akan saya alami nanti jika kejadian itu menimpa saya juga (tapi jangan sampai ya…). Namun jangan sampai kesedihan itu melalaikan tanggung jawab besar yang masih ada di pundak kita. Tanggung jawab akan anak-anak, titipan Tuhan. Itu yang terpenting.
**************************************************************
Kejadian dan juga perasaan yang muncul hari itu seakan menampar saya. Kematian adalah suatu hal yang tidak bisa kita elakkan. Ia datang tiba-tiba tanpa kita duga. Dan kita harus siap untuk menghadapi semua itu. Kalau kita ada di posisi yang meninggalkan sih enak. Tidak ada urusan setelahnya. Tapi kalau misalnya kita ada di posisi yang ditinggalkan, kita harus lebih siap untuk menghadapinya, apapun yang akan terjadi.

Hmmm, siapkah kita menghadapi semua itu?

Balada Ibu Galau

Galau. Satu kata yang mendadak nge-hits banget  dua tahun belakangan ini. Siapapun bisa terjangkit virus galau, nggak terkecuali ibu rumah tangga beranak satu seperti saya.

Apa sih yang bisa bikin ibu rumah tangga seperti saya ini galau?

Sembako yang semakin hari semakin melambung? TIDAK

Anak yang semakin hari, kelakuannya semakin “kreatif”? TIDAK

Kerjaan rumah yang numpuk? TIDAK Juga

Trus apaan dong?

Kasih tau nggak yaaaaa…. Hehehe…

Yang bikin saya selalu galau adalah…. SUAMI!!!

Gimana nggak bete coba kalau suami tetep aja lirak-lirik sana-sini saat kita sudah berusaha melakukan semua yang terbaik?

Gimana nggak bete saat kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk nggak belanja sesuatu yang kita inginkan supaya keuangan tetap stabil, tapi dia malah mengagumi perempuan lain yang dandanan, baju plus “printilannya” luar biasa untuk menunjang penampilannya.

Gimana nggak bete saat melihat teman-teman saya pada sekolah ke luar negeri lah, diajak suaminya jalan-jalan ke luar negeri lah, dan begini begitu lainnya, sementara kita stuck ngurus anak dan pekerjaan rumah tangga di rumah aja.

Gimana nggak bete saat saya merasa sudah sepenuh jiwa melakukan dan berusaha untuk jadi ibu dan istri yang baik, tapi tetap aja ada yang kurang di mata suami?

Semua perasaan bete itu PASTI akan berujung sama yang namanya GALAU. Galau ala ibu rumah tangga.

Galau (Image from: sulfianisty.blogspot.com)
Galau (Image from: sulfianisty.blogspot.com)

Biasanya kalau pas lagi galau gitu pengen banget nangis sejadi-jadinya atau teriak sekencang-kencangnya atau curhat di ruang publik biar seluruh dunia tau. Tapi saya tidak pernah melakukannya. Paling banter saya uring-uringan atau bersikap dingin atau nangis sendiri di tengah malam yang gelap saat suami dan anak sudah terlelap.

Galau itu bikin dada nyesek banget. Galau karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya nggak menginginkan ini-itu yang aneh-aneh. Saya tidak butuh pengakuan dari orang lain. Saya cuma butuh diakui oleh suami saya kalau sayalah pusat dunianya berputar saat ini. Sayalah orang ter- dimatanya (tercantik, terpintar, terbaik, terseksi dan ter-lainnya yang baik-baik).

Saya cuma ingin suami saya bersyukur memiliki saya dengan apa adanya saat ini. Karena saya akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi keluarga kami. Ya, cuma itu. Saya cuma ingin merasa selalu menjadi spesial bagi suami saya. Saya hanya ingin selalu merasa dibutuhkan dan jadi orang penting bagi suami saya. Tanpa dibanding-bandingkan dengan orang lain. Walaupun hal itu dilakukan secara implisit, saya yakin tidak seorangpun suka dibandingkan dengan individu lainnya.

Semoga suami saya dan juga suami-suami lain sadar untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat istrinya galau lagi seperti ini. Amiiinnn…

Jangan Sampai Menyesal

Masih seputar ibu rumah tangga dan full time mother, profesi yang saya geluti saat ini. Kadang saya ngerasa iri pada teman-teman saya yang bekerja disini, lanjut kuliah disana, dan pencapaian-pencapaian lain yang mereka dapatkan. Ingin sekali rasanya bisa mengaktualisasikan diri lagi seperti mereka. Tapi saya tidak bisa. Saya stuck di rumah. Saya harus jadi ibu rumah tangga. Saya harus mengurus anak saya.

Jujur, saya kadang benci sama keadaan saya saat ini yang HANYA menjadi ibu rumah tangga biasa. Mungkin perasaan yang sama juga seringkali dirasakan wanita lain yang berprofesi sama seperti saya. Menurut saya sih hal itu wajar. Apalagi untuk wanita yang dulunya sibuk berkarier, lalu tiba-tiba harus berhenti bekerja di luar rumah karena sudah berkeluarga dan memiliki momongan. Perasaan tersebut sangat manusiawi. Tapi kita jangan sampai terbelenggu terus-terusan dengan hal itu. Ingat, ada banyak hal yang membutuhkan perhatian kita. Itulah pentingnya ada ibu rumah tangga.

Saya dan anak saya (Avi)
Saya dan anak saya (Avi)

Perasaan kesal yang saya rasakan saat menyadari saya hanya seorang ibu rumah tangga berubah saat saya sadar anak saya saat ini sangat membutuhkan perhatian saya. Anak saya, Avi, yang sekarang berusia 27 bulan menjadikan saya sebagai pusat kehidupannya. Ada perasaan lain saat anak saya memanggil “ibu, ibu” untuk setiap hal yang Avi lakukan dan ia ingin menunjukkan pada saya. Memang capek, tapi lumayan bikin girang kalau anak saya ngajakin saya joged-joged atau dansa ala princess. Dan yang pasti, saya tau kalau ada satu orang yang selalu menemani saya saat ini.

Saya jadi menikmati profesi saya sebagai ibu rumah tangga, menikmati setiap detik yang saya lalui bersama Avi. Mensyukuri bahwa saya bisa 24 jam selama tujuh hari saya menjadi full time mother, selalu bersama-sama Avi. Saya juga bisa memantau setiap perkembangan Avi. Semua itu sesuatu yang tidak bisa tergantikan dengan hanya sekedar aktualisasi diri, sesuatu yang tidak bisa kita ulang kembali di kemudian hari.

Saat anak kita baru lahir sampai sekitar umur 7 tahun adalah waktu yang sangat berharga bagi kita untuk mendapatkan perhatian penuh dari anak. Karena setelah usia tersebut anak akan mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Saat itulah kita yang nantinya malah minta perhatian dari anak. Apalagi saat anak memasuki masa puber. Habislah waktu anak untuk kita. Maka dari itu, saat kita masih jadi pusat kehidupan anak, jangan sia-siakan waktu yang ada supaya kita jangan sampai menyesal nantinya.

You’re Priceless, Mom

“Cuma ibu rumah tangga”, saya ngerasa banyak wanita yang minder dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Saya bisa menyimpulkan seperti itu karena sebagian diantara mereka menambahkan kata “cuma” sebelum mereka menyebutkan “ibu rumah tangga”.

Profesi saya saat ini juga ibu rumah tangga. Tapi saya nggak malu tuh walau tiap hari hanya di rumah, ngurus rumah, ngurus anak dan juga ngurus suami. Justru disitu saya sangat merasa kalau keluarga saya sangat membutuhkan saya. Perasaan dibutuhkan ini yang tak ternilai banget rasanya.

Mungkin ini hanya pembelaan saya yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang tidak bisa menghasilkan materi untuk keluarga saya, namun perasaan selalu dibutuhkan yang saya rasakan itu, mengalahkan semua keinginan saya untuk kembali bekerja di luar rumah dan mengaktualisasikan diri saya lagi. Melihat anak saya yang sering banget panggil-panggil saya “ibu… ibu…” kalau dia ingin ditemani main, atau merasakan suami saya yang pasti butuh bantuan saya untuk menyelesaikan urusan usaha kami, membuat saya merasa jadi orang paling penting di dunia.

Entah, apa yang dirasakan wanita lain yang profesinya sama seperti saya. Tapi bagi saya profesi ini penting. Sama pentingnya seperti profesi presiden untuk suatu negara, pilot untuk suatu pesawat dan driver untuk suatu mobil. Kita yang jadi pengendali jalannya rumah tangga kita. Kita dibutuhkan. Kita berharga. Yes, we’re priceless. You’re priceless mom!

Menjadi Ibu vs. Aktualisasi Diri

Semalam anak saya, Avi, rewel sekitar jam 2 malam dan dia baru bisa tidur jam 3-an. Setelah Avi tertidur saya mencoba untuk tidur lagi juga. Tapi nggak bisa-bisa walaupun mata sudah dimerem-meremin. Alhasil saya jadi stalking akun twitter dan FB beberapa teman saya pas jaman kuliah dan SMA dulu.

Waw, ternyata teman saya hebat-hebat. Banyak yang lanjut S2 ke luar negeri, kerja di perusahaan besar yang mapan. Dan beberapa diantaranya ada yang dapat penghargaan ini-itu.

Hhhmmm… Jujur, terbersit rasa iri di hati saya. Saya juga ingin kembali ke dunia akademisi, lanjut S2 di luar negeri dan berusaha untuk bisa ngajar (lagi). Tapi keinginan-keinginan tersebut selalu luntur karena harus bertanggung jawab atas amanah yang telah dititipkan Allah untuk saya. Masih ada orang lain yang saat ini masih sangat membutuhkan kehadiran saya setia harinya.

Ya, orang lain tersebut adalah anak saya, darah daging saya.

Menikmati Menjadi Ibu

Menikmati Menjadi Ibu

Tiap kali menatap mata Avi rasanya saya nggak mau melewatkan satu haripun tanpa bersamanya. Saya takut nanti saya akan menyesal kalau sampai melewatkan pertumbuhan dan perkembangan anak saya yang sangat pesat akhir-akhir ini.

Ternyata begini ya rasanya jadi seorang ibu…

Anyway, sejak November 2012 lalu, di rumah ada asisten rumah tangga. Tugasnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, ngepel, beres-beres rumah, dll dan menjaga Avi kalau saya lagi riweuh dengan urusan kantor. Emang sih kantor dengan kamar saya hanya berjarak 5 langkah saja. Tapi Avi selalu takut kalau ditinggal main sendirian. Dan saya khawatir aja kalau misalnya saya lagi hectic dengan urusan pekerjaan, trus saya agak kurang perhatian sama apa yang dilakukan Avi, nanti terjadi hal-hal yang nggak diinginkan. Makanya butuh orang yang menjaga Avi kalau saya lagi sibuk urus kerjaan.

Walaupun sudah jalan 3 bulan si mbok ada di rumah, Avi selalu menolak kalau diajak main sama dia. Avi juga jadi sangat kegirangan kalau saya beres ngurus kerjaan dan mengajaknya bermain lagi.

Aaahhh, siapa coba yang tega ninggalin anak seperti Avi demi kepuasan ego pribadi.

Hidup itu pilihan. Kawan-kawan saya boleh mencapai ini-itu dalam hidupnya dan saya stuck di posisi sekarang ini. Tapi saya memilih untuk memberikan yang terbaik bagi anak saya, menjadi full time mother. Melihat senyum Avi, mendengar tawanya, memperhatikan perkembangannya, bahkan tersiksa dengan tangisnya yang luar biasa kencang, tak bisa tergantikan dengan hanya sekedar kepuasan mengaktualisasikan diri.

Saya yakin banyak wanita yang juga merasakan hal yang sama seperti saya. Terutama yang dulunya aktif bekerja dan aktif di beragam kegiatan. Tapi yakinlah, membesarkan anak dengan tanganmu sendiri itu jauh lebih mulia daripada kepuasan aktualisasi diri.

Maaf…

Forgive Me (image by: http://brenditaworks.deviantart.com)

Maaf…

Maaf jika saya masih belum bisa menjadi istri yang baik

Maaf jika saya masih belum bisa menjadi ibu yang baik

Karena 2 hal itu ternyata (tidak) mudah untuk dilakukan