Apa yang Harus Saya Lakukan Jika Begini Terus? by Vidie Lubis

Saya Ibu dari 1 anak laki-laki yang kini berusia hampir 4 tahun. Pernikahan saya, sangat hambar, nggak jelas rasa. Mungkin karna dari awal, pernikahan kami sudah salah.

Kami menikah tahun 2009, tanpa dihadiri oleh 1 orangpun keluarga dari suami. Hal itu dikarenakan mereka tidak menginginkan pernikahan ini terjadi hanya karena salah paham dan mereka merasa keluarga saya terlalu jauh dengan mereka secara latar belakang, baik kemampuan, pendidikan, dan sebagainya. Sampai detik ini, setiap kali bertengkar, suami selalu mengingatkan dengan nada keras, bahwa sayalah penyebab dia mendurhakai kedua orang tuanya. Padahal kesepakatan nikah itu, dari kami berdua, dan saya tidak pernah memaksakan, jika memang dia tidak berkehendak.

Sampai detik ini, keluarganya masih tidak ingin berhubungan dengan keluarga besar saya padahal niat baik selalu di ungkapkan oleh keluarga besar saya, terutama orang tua saya. Saya hanya bisa bersabar dengan keadaan ini. Berharap mereka melunakan hati untuk menerima semua kenyataan ini. Walau sedih rasanya melihat orang tua saya yang berharap hubungan jauh lebih baik dengan siapapun. Continue reading →

Keadaan yang Tak Kubayangkan by Mom Akha

Keadaan yang tak pernah kubayangkan:

  1. Tinggal bersama mertua, adik ipar & keponakan
  2. Tiap hari suami sibuk kerja cuma wekeend seminggu sekali
  3. Aku lagi hamil 7 bulan dan sebentar lagi lahiran
  4. Ekonomi yang tidak memadai

Kebayang nggak sih???

Perlu diketahui aku anak tunggil alias dari orok aku cuma tinggal sama ibu dan bapak. Dan sekarang aku tinggal dengan 9 orang bo! Di dalam “1 mangkok” pula!!! It’s amazing!!! Bukannya nggak mau kost atau ngontrak, tapi keadaan yang serba siput! Well, dinikmati aja hidup ini.

Aku dan Sepenggal Kisah by Moms Nano

29 Mei2011, aku menikah dengan anggota polisi dan mempunyai dua anak cewek dan cowok. Anak pertamaku cewek, sekarang berusia 2 tahun. Dan anak keduaku cowok berusia 1 tahun.

Saat kelahiran anak pertama kami rumah tanggaku masih baik-baik saja. Suamiku selalu perhatian kepada aku dan anakku. Setelah anak pertamaku berusia 3 bulan aku dinyatakan positif hamil anak kedua yang berjenis kelamin cowok. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami mempunyai sepasang anak. Akan tetapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama semenjak kehamilan anak kedua.

Suamiku berubah, dia berselingkuh dengan perempuan yang dikenalnya melalui pesan singkat. Aku kaget, menangis dan marah, tetapi hal itu aku maafkan karena suamiku meminta maaf kepadaku. Dia khilaf dan tidak akan mengulanginya lagi.

Sebagai istri aku tetap harus memaafkan kesalahan suami jika dia khilaf. Tetapi tidak sampai disitu penderitaanku. Suamiku sering pulang pagi dan mabuk-mabukan padahal kondisi saat itu aku sedang hamil besar. Walaupun aku berusaha marah tetapi aku selalu memaafkan keselahan suamiku. Continue reading →

Siapa Bilang Menikah itu Enak?

Yup, siapa bilang menikah itu enak???

Memang sebagian orang yang masih single (termasuk saya dulu), ingin sekali menikah dan memiliki pasangan hidup. Tapi setelah dijalani sendiri, menikah itu ternyata nggak enak! Makanya sekarang kalau ada teman saya yang status-statusnya di media sosial menunjukkan kalau dia pengen banget menikah, saya seringkali mencibir, “nanti lo rasain gimana nggak enaknya nikah!”.

Kalau saya boleh memilih lagi dan memutar waktu kembali ke beberapa tahun yang lalu, saya akan memilih untuk menjadi single saja. Menikah, punya suami, itu repot ternyata bo! Ngurus suami itu lebih repot daripada ngurus anak. Istri banyak nggak benernya di mata suami. Bagus kalau suaminya nggak macem-macem. Kalau ternyata si suami tukang selingkuh atau “ringan tangan” alias sering melakukan KDRT, wuiihhh…. hidup udah seperti di neraka. Bagus kalau nanti pas di akhirat masuk surga, lah ini, udah di dunia serasa di neraka, di akhirat juga harus masuk neraka. Rugi dua kali kaannn…

Waduh, kok bahasannya ngelantur ya… Okay, balik ke judul di atas.

Menikah, awalnya mungkin memang terasa enak, dunia serasa milik berdua, tapi coba kalau sudah masuk tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, yang ada cuma rasa letih. Apalagi seperti saya yang hanya seorang ibu rumah tangga. Hidup saya hanya berputar sama yang namanya anak dan suami.

Stuck (image from: www.dreamstime.com)
Stuck (image from: www.dreamstime.com)

Nggak mau munafik, saya seringkali merasa bosan di rumah terus. Masih belum lagi kalau ada masalah dengan suami, nggak ada tempat buat curhat, jadi semuanya “ditelen” sendiri. Trus, ditambah dengan posisi saya yang tidak bisa menghasilkan materi, membuat saya seringkali merasa terpojok karena telah menghabiskan uang sedemikian banyaknya untuk memenuhi keinginan saya.

Sungguh, kalau misalnya saya boleh memilih, saya akan kembali menjadi single, yang bebas melanglang buana seperti dulu, mencapai mimpi-mimpi saya. Namun, komitmen dan tanggung jawab akan banyak hal memaksa saya untuk tetap bertahan di posisi ini.

Pesan saya untuk para single, posisimu saat ini adalah yang terenak. Nikmati saja dulu sebelum nantinya kau akan terbangun dari mimpi indah karena sebuah kata yang bernama pernikahan.

Siapkah Kita?

Beberapa minggu yang lalu salah seorang teman suami saya meninggal dunia. Untuk membantu istrinya, suami saya mengurus pengiriman jenazah ke kampung halamannya di Medan dan saya membantu mencarikan tiket pesawat untuk istri teman suami saya tersebut beserta kedua buah hatinya.

Bukan sesuatu yang mudah mencarikan tiket pesawat hari itu juga untuk rute penerbangan Denpasar-Medan. Pun demikian dengan urusan pengiriman jenazah. Tapi Alhamdulilah sebelum pukul 11 WITA semua masalah sudah clear. Okay, saya nggak akan membahas tentang urusan pengiriman jenazah ataupun tiket pesawat. Yang akan saya bahas adalah perasaan yang kemudian timbul setelah semua masalah hari itu selesai kami urus.

Sebagai seorang istri, jujur saya ikut berduka atas apa yang terjadi pada teman suami saya itu. Dan tiba-tiba terbersit dalam benak saya bagaimana jika saya yang mengalami hal itu. Saya harus kehilangan suami disaat anak masih belum dewasa. Saya harus memikul sendiri biduk rumah tangga yang selama ini kami bina. Dan pada satu waktu saya juga harus bisa bertanggungjawab sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai kepala keluarga. Ibu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluan rumah dan mendidik anak, sekaligus saya harus memikirkan bagaimana caranya agar besok kami tetap bisa makan tanpa mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Ah, rasanya saya tak kan sanggup menjalani semua itu.

Tak terasa setitik air mata tiba-tiba muncul. Saya tiba-tiba merasa sedih. Sedih sekali. Sedih membayangkan hidup hanya dengan anak. Sedih membayangkan jika harus kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tempat kita bercerita, bersandar dan berkeluh kesah. Terlebih lagi sedih membayangkan keseharian yang nantinya akan dihadapi tanpa kehadiran seseorang yang biasanya selalu ada. Ah, saya benar-benar merasa tidak akan sanggup menjalaninya.

Saat ini saya hanya tinggal bertiga dengan suami dan satu anak kami yang masih berusia 2 tahun. Kami memiliki banyak sekali mimpi dan harapan di masa depan, terutama di masa tua kami nanti. Namun jika takdir yang akan terjadi nanti tidak sejalan dengan harapan, maka (terutama) saya harus siap untuk menghadapi segala sesuatunya.

Saya bisa membayangkan sedih tak berkesudahan yang akan saya alami nanti jika kejadian itu menimpa saya juga (tapi jangan sampai ya…). Namun jangan sampai kesedihan itu melalaikan tanggung jawab besar yang masih ada di pundak kita. Tanggung jawab akan anak-anak, titipan Tuhan. Itu yang terpenting.
**************************************************************
Kejadian dan juga perasaan yang muncul hari itu seakan menampar saya. Kematian adalah suatu hal yang tidak bisa kita elakkan. Ia datang tiba-tiba tanpa kita duga. Dan kita harus siap untuk menghadapi semua itu. Kalau kita ada di posisi yang meninggalkan sih enak. Tidak ada urusan setelahnya. Tapi kalau misalnya kita ada di posisi yang ditinggalkan, kita harus lebih siap untuk menghadapinya, apapun yang akan terjadi.

Hmmm, siapkah kita menghadapi semua itu?

Balada Ibu Galau

Galau. Satu kata yang mendadak nge-hits banget  dua tahun belakangan ini. Siapapun bisa terjangkit virus galau, nggak terkecuali ibu rumah tangga beranak satu seperti saya.

Apa sih yang bisa bikin ibu rumah tangga seperti saya ini galau?

Sembako yang semakin hari semakin melambung? TIDAK

Anak yang semakin hari, kelakuannya semakin “kreatif”? TIDAK

Kerjaan rumah yang numpuk? TIDAK Juga

Trus apaan dong?

Kasih tau nggak yaaaaa…. Hehehe…

Yang bikin saya selalu galau adalah…. SUAMI!!!

Gimana nggak bete coba kalau suami tetep aja lirak-lirik sana-sini saat kita sudah berusaha melakukan semua yang terbaik?

Gimana nggak bete saat kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk nggak belanja sesuatu yang kita inginkan supaya keuangan tetap stabil, tapi dia malah mengagumi perempuan lain yang dandanan, baju plus “printilannya” luar biasa untuk menunjang penampilannya.

Gimana nggak bete saat melihat teman-teman saya pada sekolah ke luar negeri lah, diajak suaminya jalan-jalan ke luar negeri lah, dan begini begitu lainnya, sementara kita stuck ngurus anak dan pekerjaan rumah tangga di rumah aja.

Gimana nggak bete saat saya merasa sudah sepenuh jiwa melakukan dan berusaha untuk jadi ibu dan istri yang baik, tapi tetap aja ada yang kurang di mata suami?

Semua perasaan bete itu PASTI akan berujung sama yang namanya GALAU. Galau ala ibu rumah tangga.

Galau (Image from: sulfianisty.blogspot.com)
Galau (Image from: sulfianisty.blogspot.com)

Biasanya kalau pas lagi galau gitu pengen banget nangis sejadi-jadinya atau teriak sekencang-kencangnya atau curhat di ruang publik biar seluruh dunia tau. Tapi saya tidak pernah melakukannya. Paling banter saya uring-uringan atau bersikap dingin atau nangis sendiri di tengah malam yang gelap saat suami dan anak sudah terlelap.

Galau itu bikin dada nyesek banget. Galau karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya nggak menginginkan ini-itu yang aneh-aneh. Saya tidak butuh pengakuan dari orang lain. Saya cuma butuh diakui oleh suami saya kalau sayalah pusat dunianya berputar saat ini. Sayalah orang ter- dimatanya (tercantik, terpintar, terbaik, terseksi dan ter-lainnya yang baik-baik).

Saya cuma ingin suami saya bersyukur memiliki saya dengan apa adanya saat ini. Karena saya akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi keluarga kami. Ya, cuma itu. Saya cuma ingin merasa selalu menjadi spesial bagi suami saya. Saya hanya ingin selalu merasa dibutuhkan dan jadi orang penting bagi suami saya. Tanpa dibanding-bandingkan dengan orang lain. Walaupun hal itu dilakukan secara implisit, saya yakin tidak seorangpun suka dibandingkan dengan individu lainnya.

Semoga suami saya dan juga suami-suami lain sadar untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat istrinya galau lagi seperti ini. Amiiinnn…