Saya atau Dia yang Salah? by Emmha Fitria

Saya seorang istri usia 21 tahun, suami  saya 24 tahun. Kami menikah kurang lebih baru 2 tahun. Akan tetapi disetiap perjalanan bahtera rumah tangga kami selalu ditimpa masalah. Entah masalah yang sepele atau yang besar sekalipun.

Awal pernikahan kami memang tidak seindah pasangan-pasangan lainnya. Sebelum menikah, saat kami masih saling baru mengenal, disanalah kami masih sama-sama memiliki pasangan. Entah karena alasan apa, suami saya dulu memaksa untuk menjadi kekasih gelap saya. Karena pada saat itu saya juga merasa kesepian dan kurang perhatian ditinggal pacar yang super sibuk dengan kegiatan kampus, akhirnya saya terimalah permintaan suami saya. Hingga pada suatu waktu saya bingung untuk memutuskan lanjut hubungan dengan siapa. Karena tidak mungkin terus menerus saya jalan bergantian dengan laki-laki yang berbeda setiap hari.

Dengan pertimbangan ini-itu, saya pun memutuskan untuk serius dengan suami saya dan memutus hubungan dengan pacar lama saya. Ditengah hubungan kami yang mulai serius (menurut saya), ada hambatan lain. Saya coba untuk mengenalkan calon suami saya itu kepada mama saya terlebih dahulu. Finally, kesan mama selalu tidak setuju. Alasan mama adalah karena latar belakang keluarganya yang berantakan dan belum jelas (begitu kata mama). Mama takut jika saya terua berhubungan kedepannya dengan suami saya tidak akan langgeng. “Yaaah, paling nggak jauh-jauh kayak nasib rumah tangga orangtuanya. Karena sudah ada bibit tertanam di dirinya”, begitu kata-kata mama yang selalu akhirnya saya jadikan pertimbangan ulang. Continue reading →

Suami Selingkuh Setelah jadi PNS by Arie S.

Rumah tanggaku sudah terjalin 7 tahun. Untuk menuju ke pernikahanpun dulu aku penuh perjuangan karena orangtuaku nggak setuju dengan suamiku yang saat itu hanyalah seorang pria yang masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan. Tapi cinta mengalahkan semua, sampai akhirnya kita menikah dan aku rela meninggalkan bangku sekolah.

Tahun pertama pernikahanku ekonomi rumah tangga sangat kurang karena suami belum bekerja dan dia masih banyak pengeluaran untuk kuliahnya. Tahun kedua pernikahan aku hamil dan memiliki jagoan kecil yang sangat lucu. Dengan kehadiran anakku biaya rumah tangga semakin banyak sehingga aku memutuskan bekerja di kantor kakakku.

Satu tahun aku bekerja aku diizinkan kuliah. Seluruh biaya kuliah di tanggung kakakku. Sampai rumah dan semua kebutuhanku juga diberi oleh kakakku. Suamiku dan anakku kuboyong ke tempatku. Aku juga meminta tolong pada kakakku untuk memasukkan suamiku menjadi PNS. Dan syukur Alhamdulilah suamiku masuk CPNS. Aku berharap ekonomi kami bisa teringankan kalau suamiku jadi PNS. Continue reading →

Tersiksa Batin by Esti S.

Usia saya 26 tahun. Sebelum menikah saya adalah mantan pelayan cafe miras. Diwaktu usia saya 18 tahun saya pernah kumpul kebo sampai akhirnya saya hamil tetapi laki-laki brengsek itu memaksa saya untuk mengugurkannya. Saya tak kuasa menolak karena dibutakan cinta dan kenikmatan dunia.

Waktu berjalan kami tetap kumpul kebo sampai akhirnya saya pun hamil lagi tapi kali ini saya bertekad ingin membesarkan anak saya walaupun laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab. Setelah anak saya lahir, saya langsung meninggalkannya karena harus mencari nafkah untuknya. Saya pun kembali menjadi pelayan cafe sampai umur anak saya 8 bulan. Saya lalu merantau ke Taiwan selama 2 tahun dan kembali ke Indonesia, lalu kembali menjalani aktivitas saya menjadi pelayan cafe.

Hingga akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang saat ini menjadi suami saya. Awalnya kami dipertemukan saat saya tengah jatuh dari motor dan dia yang merawat saya sampai sembuh lalu kamipun kumpul kebo sampai akhirnya kami menikah. Tapi entahlah, saya seperti mimpi atau terhipnotis karena suami saya tidak bercakap apapun dan saya seperti tunduk dan nurut saja dengan apa yang terjadi.
Bulan pertama pernikahan kami suami saya sering keluar malam dan saya jarang sekali mendapat perhatian darinya. Continue reading →

Siapa Bilang Menikah itu Enak?

Yup, siapa bilang menikah itu enak???

Memang sebagian orang yang masih single (termasuk saya dulu), ingin sekali menikah dan memiliki pasangan hidup. Tapi setelah dijalani sendiri, menikah itu ternyata nggak enak! Makanya sekarang kalau ada teman saya yang status-statusnya di media sosial menunjukkan kalau dia pengen banget menikah, saya seringkali mencibir, “nanti lo rasain gimana nggak enaknya nikah!”.

Kalau saya boleh memilih lagi dan memutar waktu kembali ke beberapa tahun yang lalu, saya akan memilih untuk menjadi single saja. Menikah, punya suami, itu repot ternyata bo! Ngurus suami itu lebih repot daripada ngurus anak. Istri banyak nggak benernya di mata suami. Bagus kalau suaminya nggak macem-macem. Kalau ternyata si suami tukang selingkuh atau “ringan tangan” alias sering melakukan KDRT, wuiihhh…. hidup udah seperti di neraka. Bagus kalau nanti pas di akhirat masuk surga, lah ini, udah di dunia serasa di neraka, di akhirat juga harus masuk neraka. Rugi dua kali kaannn…

Waduh, kok bahasannya ngelantur ya… Okay, balik ke judul di atas.

Menikah, awalnya mungkin memang terasa enak, dunia serasa milik berdua, tapi coba kalau sudah masuk tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, yang ada cuma rasa letih. Apalagi seperti saya yang hanya seorang ibu rumah tangga. Hidup saya hanya berputar sama yang namanya anak dan suami.

Stuck (image from: www.dreamstime.com)
Stuck (image from: www.dreamstime.com)

Nggak mau munafik, saya seringkali merasa bosan di rumah terus. Masih belum lagi kalau ada masalah dengan suami, nggak ada tempat buat curhat, jadi semuanya “ditelen” sendiri. Trus, ditambah dengan posisi saya yang tidak bisa menghasilkan materi, membuat saya seringkali merasa terpojok karena telah menghabiskan uang sedemikian banyaknya untuk memenuhi keinginan saya.

Sungguh, kalau misalnya saya boleh memilih, saya akan kembali menjadi single, yang bebas melanglang buana seperti dulu, mencapai mimpi-mimpi saya. Namun, komitmen dan tanggung jawab akan banyak hal memaksa saya untuk tetap bertahan di posisi ini.

Pesan saya untuk para single, posisimu saat ini adalah yang terenak. Nikmati saja dulu sebelum nantinya kau akan terbangun dari mimpi indah karena sebuah kata yang bernama pernikahan.

Perlakuan Buruk Suamiku by Fitre Fano

Aku Fitre. Aku punya masalah sama suamiku.

Dulu sebelum menikah aku tidak tahu kalau suamiku pernah menikah siri dengan teman sekolahnya dan mempunyai seorang anak perempuan. Setelah kita menikah aku selalu diperlakukan semena-mena sama suamiku mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.

Ketika aku hamil bukanya aku di sayang atau di manja melainkan aku sering di pukul, di seret dan di tinggal selingkuh. Sungguh tidak terbayang rasa sakitnya. Dan semua itu berlanjut sampai aku melahirkan. Hingga akhirnya aku mempunyai seorang putra yang bernama Fano. Masalah masih terus berlajut.

Setelah anakku lahir sang suami bukanya tambah sayang, tapi dia tambah benci sama aku dan anakku. Aku tidak dinafkahi selama 3 bulan. Dan dia juga tidak pernah sekalipun membantu merawat dan memberi kasih sayangnya pada anakku. Hingga saat ini pun kami belum pernah tidur bersama.

Aku harus bagaimana?
Sementara anakku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Namun ayahnya nggak pernah peduli dengan istri dan anaknya. Disaat anaknya sakit dia juga tidak pernah tanya sama sekali tentang keadaan anaknya.

Tuhan, aku harus bagaimana?

Kalau aku minta pisah dia nggak pernah mau. Tapi mengapa dia harus berselingkuh di depanku dan dia juga menghajarku di depan selingkuhanya?
Sungguh sakit sekali bathinku.

Tuhan, berikan kesabaran untukku dan kuatkan hatiku ini..

Siapkah Kita?

Beberapa minggu yang lalu salah seorang teman suami saya meninggal dunia. Untuk membantu istrinya, suami saya mengurus pengiriman jenazah ke kampung halamannya di Medan dan saya membantu mencarikan tiket pesawat untuk istri teman suami saya tersebut beserta kedua buah hatinya.

Bukan sesuatu yang mudah mencarikan tiket pesawat hari itu juga untuk rute penerbangan Denpasar-Medan. Pun demikian dengan urusan pengiriman jenazah. Tapi Alhamdulilah sebelum pukul 11 WITA semua masalah sudah clear. Okay, saya nggak akan membahas tentang urusan pengiriman jenazah ataupun tiket pesawat. Yang akan saya bahas adalah perasaan yang kemudian timbul setelah semua masalah hari itu selesai kami urus.

Sebagai seorang istri, jujur saya ikut berduka atas apa yang terjadi pada teman suami saya itu. Dan tiba-tiba terbersit dalam benak saya bagaimana jika saya yang mengalami hal itu. Saya harus kehilangan suami disaat anak masih belum dewasa. Saya harus memikul sendiri biduk rumah tangga yang selama ini kami bina. Dan pada satu waktu saya juga harus bisa bertanggungjawab sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai kepala keluarga. Ibu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluan rumah dan mendidik anak, sekaligus saya harus memikirkan bagaimana caranya agar besok kami tetap bisa makan tanpa mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Ah, rasanya saya tak kan sanggup menjalani semua itu.

Tak terasa setitik air mata tiba-tiba muncul. Saya tiba-tiba merasa sedih. Sedih sekali. Sedih membayangkan hidup hanya dengan anak. Sedih membayangkan jika harus kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tempat kita bercerita, bersandar dan berkeluh kesah. Terlebih lagi sedih membayangkan keseharian yang nantinya akan dihadapi tanpa kehadiran seseorang yang biasanya selalu ada. Ah, saya benar-benar merasa tidak akan sanggup menjalaninya.

Saat ini saya hanya tinggal bertiga dengan suami dan satu anak kami yang masih berusia 2 tahun. Kami memiliki banyak sekali mimpi dan harapan di masa depan, terutama di masa tua kami nanti. Namun jika takdir yang akan terjadi nanti tidak sejalan dengan harapan, maka (terutama) saya harus siap untuk menghadapi segala sesuatunya.

Saya bisa membayangkan sedih tak berkesudahan yang akan saya alami nanti jika kejadian itu menimpa saya juga (tapi jangan sampai ya…). Namun jangan sampai kesedihan itu melalaikan tanggung jawab besar yang masih ada di pundak kita. Tanggung jawab akan anak-anak, titipan Tuhan. Itu yang terpenting.
**************************************************************
Kejadian dan juga perasaan yang muncul hari itu seakan menampar saya. Kematian adalah suatu hal yang tidak bisa kita elakkan. Ia datang tiba-tiba tanpa kita duga. Dan kita harus siap untuk menghadapi semua itu. Kalau kita ada di posisi yang meninggalkan sih enak. Tidak ada urusan setelahnya. Tapi kalau misalnya kita ada di posisi yang ditinggalkan, kita harus lebih siap untuk menghadapinya, apapun yang akan terjadi.

Hmmm, siapkah kita menghadapi semua itu?