KEIKHLASAN HATI ORANG TUA

KEIKHLASAN HATI ORANG TUA

By: Okvina Nur Alvita

Pengalaman tak terlupakan dengan keluarga saya adalah saat saya mencurahkan isi hati saya pada mama saya. Saat itu saya sedang kalut, saya bingung menentukan masa depan saya, saya bingung antara kodrat dan keinginan untuk terus berkreasi (dalam hal ini berkarier). Lalu mama saya menasihati saya, “Vina, hidup itu yang penting bisa bermanfaat. Kalau mama sekarang ini sudah tidak ada keinginan untuk dilihat orang seperti dulu. Dengan keadaan mama yang seperti sekarang ini, mama cuman ingin bisa bermanfaat di rumah ini. Dengan mama kerja jadi penjahit, Alhamdulillah bisa membantu perekonomian keluarga kita, walaupun uang hasil kerja mama cumin cukup untuk bayar listrik, telepon dan belanja sehari-hari, tapi mama sudah bersyukur karena mama nggak nyusahin orang lain”.

Saya ingin menangis saat mama saya mengucapkan kata demi kata itu. Beliau sudah tidak muda lagi, usianya sudah setengah abad, tapi mama saya masih bersemangat melakukan hal yang kecil, tapi bisa bermanfaat walaupun hanya untuk keluarganya. Saya berkaca dengan diri saya yang terlalu banyak keinginan sampai kadang dibuat pusing dengan target-target hidup saya. Dalam kesederhanaan pemikiran mama saya yang hanya tinggal di kampong, tapi beliau mampu menunjukkan ikhlas dan tulusnya hati seorang wanita yang mengabdi hanya untuk keluarganya. Moment tersebut tidak akan pernah terlupa dalam benak saya, terutama jika saya sedang kalut menentukan arah hidup saya.

Pengalaman lain yang juga tidak dapat saya lupakan dengan orang tua saya adalah saat saya baru masuk perguruan tinggi. Saat baru masuk perguruan tinggi saya harus melakukan daftar ulang dan papa saya mengantar saya untuk daftar ulang tersebut. Karena setelah daftar ulang saya harus langsung masuk kuliah, maka saya langsung membawa barang-barang yang saya butuhkan selama menempuh kuliah. Melihat barang-barang bawaan saya cukup banyak, papa saya memutuskan untuk mengantar saya dengan membawa mobil sendiri. Bayangkan, jarak lebih dari 1000 km beliau tempuh sendiri dengan menyetir mobil tanpa sopir pengganti. Suatu perjuangan yang cukup mengesakan dari papa saya yang sangat menyayangi saya dan selalu ingin melakukan suatu hal untuk putri tersayangnya. Tapi bukan hal itu yang paling menyentuh hati saya. Mau tahu kan apa kejadian yang membuat saya sangat terharu? Baiklah, saya akan menceritakannya. Setelah semua proses daftar ulang selesai, papa saya memutuskan untuk kembali ke Jember (wah, jadi ketahuan deh dimana kota kelahiran saya…). Awalnya saya tidak merasakan apa-apa saat papa berpamitan untuk kembali ke Jember pada saya. Namun saat saya mencium tangan papa dan papa berpaling dari hadapan saya, dada saya mulai sesak, detak jantung saya tidak karuan, hal tersebut menyebabkan air mata saya berkumpul di ujung kelopak mata saya. Dan saya pun benar-benar tak kuat menahan air mata tersebut saat mobil papa saya belok menghilang dari pandangan saya. Saat itulah merupakan saat yang paling mengharukan yang saya alami dengan papa saya.

Papa saya adalah orang yang cukup keras dalam mendidik saya, bahkan terkadang cenderung otoriter dan tidak jarang saya berbeda pendapat dengan beliau hingga saya beberapa kali harus membantah perkataan beliau. Tapi saat itu, yang terlihat dalam pandangan saya adalah seorang papa yang sangat menyayangi saya.

Saat papa berpamitan akan kembali ke Jember, saya baru menyadari bahwa papa saya sekarang bukan papa saya yang dulu. Dulu sewaktu saya masih kecil, papa saya adalah seorang laki-laki yang gagah, tampan, berkulit sawo matang, intinya berpenampilan menarik lah. Namun, yang saya lihat saat itu sangat kontras dengan kondisi papa saat usia saya hanya berkepala satu. Papa yang saya lihat saat perpisahan yang mengharukan itu adalah seorang lelaki yang berusia lebih dari setengah abad, berkulit hitam, berdirinya sudah tidak setegap dulu lagi (cenderung bungkuk), keriput sudah memenuhi beberapa bagian tubuhnya karena termakan usia, dan perubahan yang paling terlihat oleh saya adalah kantung mata papa yang sangat tebal dan berwarna sangat gelap. Pada kantung mata tersebut tersimpan semua perjalanan perjuangan papa untuk menghidupi keluarganya, membanting tulang siang dan malam hanya untuk memberikan kehidupan yang layak bagi anak dan istrinya, dan juga keletihan yang menumpuk selama bertahun-tahun mengarungi kerasnya kehidupan. Tapi di kantung mata itu juga tersimpan kasih sayang papa yang tidak pernah habis untuk keluarganya. Walaupun terkadang papa kurang pandai untuk mengungkapkan kasih sayangnya pada orang-orang yang dicintainya… baru saat itu saya menyadari bahwa begitu banyak perjuangan dan pengorbanan yang telah beliau berikan untuk keluarganya, terlebih lagi untuk saya. Terbayang dalam pikiran saya saat itu ratusan bahkan rmamaan kilometer yang harus beliau tempuh sendirian untuk kembali ke rumah. Rumah yang selalu memberi ketenangan dan kenyamanan untuk beristirahat…

Papa, seandainya dulu aku bisa memaknai perkataanmu dari sudut pandang yang baru saat ini kuketahui, dan seandainya waktu bisa kuputar kembali, pasti aku tidak akan melakukan hal-hal yang mungkin pernah menyakiti hatimu, membuatmu terluka dengan perkataanku yang sering membantahmu, serta aku akan selalu patuh pada semua perintahmu karena aku yakin semua yang papa suruh untuk kulakukan adalah semata-mata hanya untuk kebaikanku…

Kupersembahkan karya kecil ini sebagai ucapan terima kasihku untuk mama dan papa atas tulusnya cinta dan kasih sayang yang tak pernah lelah beliau curahkan padaku sebagai suatu bentuk rasa ikhlas pada amanah yang Tuhan berikan baginya. Mama, Papa, I Love You, forever and ever…

3 comments

Leave a Reply