Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Awal Nge-blog

Saya mulai mengenal blog sejak tahun 2006. Waktu itu ada seorang teman, ups lebih tepatnya mantan yang ngajarin saya bikin blog. Akhirnya jadilah satu akun blog di worpress.com dengan judul www.okvina.wordpress.com.

Di blog pertama saya itu awalnya content-nya lebih banyak curhatan nggak penting daripada tulisan-tulisan bermutu. Hingga pada suatu saat ada salah seorang teman yang ngomentarin blog saya. Dia bilang begini “Vina, isinya koq diary aja seh? tulisan-tulisan, makalah-makalah, tugas-tugas kuliah yang berbentuk karya tulis bagus juga lho kalo dimasukin dalam blogmu… hanya saran”. Sejak saat itu saya jadi terpikir, oh iya ya, kenapa nggak saya masukin tulisan-tulisan yang sedikit bermutu di blog saya? 🙂

Perjalanan Blog Saya

Seiring dengan bergulirnya waktu, tulisan yang ada di blog saya nggak hanya berisi tentang curhatan nggak penting tentang diri sendiri. Saya juga memasukkan beberapa tulisan yang lumayan berbobot. Sebenernya sih banyak dari tugas kuliah dan beberapa ringkasan karya tulis yang saya buat.

Pembaca blog saya mulai beragam. Saya mulai membuat tulisan yang ber-content “nyerempet” ke psikologi populer. Tulisan saya seringkali saya kaitkan dengan beberapa teori yang saya peroleh di bangku kuliah. Selain itu, saya juga mulai menulis cerita-cerita traveling saya. Hingga pada bulan April 2010 saya membeli satu domain (www.ladiestraveler.com) yang khusus untuk cerita-cerita traveling saya.

Blogging

After Married

Setelah menikah saya tinggal di Bali. Di kantor dan juga di rumah ada koneksi internet. Setiap hari saya harus berhadapan dengan internet karena pekerjaan suami saya tidak bisa lepas dari koneksi internet. Jadilah saya bosan dengan hal itu. Akhirnya saya ingin punya satu blog yang isinya khusus berisi curhatan para istri (terutama saya, hehehe). Jadilah suami saya membelikan saya domain www.celotehistri.com.

Di weblog celoteh istri ini saya menulis banyak hal. Dan terutama curhatan saya yang sering dibikin spot jantung dengan kondisi “newly wed”, “newly mom” dan “post power sindrome”.

Ngeblog = Meminimalisir Pertengkaran

Anyway, saya dan suami berasal dari dua dunia yang berbeda (halah!). Maksudnya bukan yang satu dunia gaib dan yang satu lagi dunia nyata, tapi latar belakang kami sangat berbeda. Saya orang Jawa, suami orang Batak-Ambon. Saya anak terakhir, suami saya anak pertama. Otak saya berkembang di dunia akademisi, otak suami saya berkembang di jalanan (yang tentunya jadi lebih realistis dalam segala hal). Yang pasti, saya dan suami sangat bersebrangan lah.

Semua hal tersebut seringkali menyulut emosi tingkat tinggi antara kami berdua. Awalnya saya juga berang kalau suami sudah pakai nada yang satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. Tapi lama kelamaan saya jadi capek dan bosan sendiri. Kalau suami saya lagi emosi atau kalau saya yang sedang  dibakar amarah karena beberapa sikapnya yang tidak saya suka, saya biasanya diam (walopun di hati sudah seperti ada kawah yang mau memuntahkan semua laharnya). Setelah suami dan anak saya terlelap, biasanya saya browsing dan update blog. Disaat itulah merupakan saat terpenting bagi saya untuk menurunkan emosi dalam diri. Yang awalnya pengen banget nulis semua kejelekan suami, jadi berbalik arah menjadi mengingat semua kebaikan yang ada dalam diri suami dan menuliskannya dalam blog. Hal ini sangat membantu sekali mengurangi “perang dingin” antara kami berdua.

Ya, saya sudah nge-blog sejak tahun 2006. Banyak sekali manfaat yang saya peroleh dari blog saya. Salah satunya yang terpenting adalah, dengan ngeblog bisa meminimalisir volume pertengkaran dan lama waktu “perang dingin” saya dengan suami.

Antara Ibu-Ibu di Indonesia dan di Negara Maju

Saya dulu berkuliah di jurusan yang salah satu fokus utamanya membahas tentang keluarga. Banyak sekali teori dan hasil penelitian yang tentang keluarga yang saya peroleh selama menyenyam pendidikan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Salah satu hal menarik yang pernah kami (mahasiswa dan dosen) bahas adalah tentang bagaimana kiprah para wanita di dunia kerja saat mereka telah memiliki anak.

The M-Shaped Curve in Japan

The M-Shaped Curve in Japan

Pada sebagian besar negara maju, para wanita cenderung mandiri. Mereka pada umumnya telah mampu membiayai hidupnya sendiri sejak di bangku kuliah dengan cara kerja part time/ freelance di perusahaan-perusahaan tertentu. Saat mereka lulus kuliah, karir mereka akan semakin bagus karena mereka bisa kerja full time. Mungkin sebagian dari mereka bahkan telah berada di puncak karirnya. Namun, saat mereka memiliki anak, mereka tidak segan-segan meninggalkan semua jabatan atau posisi yang telah dicapainya demi mengurus sendiri buah hatinya. Di Jepang, fenomena ini dikenal dengan The M-shaped Curve.

The M-Shaped Curve adalah suatu kurva yang menjelaskan partisipasi angka keikutsertaan wanita dalam dunia kerja menurut umurnya. Pada rentang umur 20-24 tahun, keikutsertaan wanita dalam dunia kerja mencapai posisi tertinggi. Namun pada rentang usia 25-44 tahun, keikutsertaan wanita dalam dunia kerja mulai menurun. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan wanita akan keluar dari pekerjaannya setelah mereka berkeluarga dan terutama saat mereka telah memiliki anak. Mereka lebih memilih untuk “bekerja di rumah”, mengurus semua pekerjaan rumah tangga dan juga mengurus anaknya sendiri daripada harus bekerja di luar rumah dan menyerahkan semua pekerjaan rumah tangga pada orang lain (pembantu atau baby sitter/nanny). Para wanita di Jepang akan kembali ke dunia kerja saat anak mereka telah memasuki usia “bisa mengurus diri sendiri”, dan kebanyakan hanya bekerja paruh waktu. Hal ini menyababkan angka partisipasi keikutsertaan wanita dalam dunia kerja kembali meningkat dan mulai menurun lagi saat mereka memasuki usia pensiun.

Ibu-Ibu di Negara Maju Lainnya

Saya adalah salah satu member dari www.couchsurfing.org. Situs tersebut merupakan situs jejaring sosial bagi para backpacker dari seluruh dunia. Saya menyediakan tempat tinggal gratis bagi para traveler yang mau menginap di rumah saya. Saat ini saya tinggal di Bali. Bali sebagai salah satu destinasi wisata bagi para turis (baik domestik ataupun manca negara) tentunya mampu menyerap banyak orang untuk berlibur ke Bali. Dan secara otomatis hal ini membuat saya “kebanjiran” request dari para backpacker untuk tinggal di rumah saya selama mereka traveling ke Bali.

Anyway, kebanyakan turis yang “numpang” di rumah saya adalah turis asing. Mereka sebagian besar berasal dari negara-negara Eropa dan juga Jepang, Korea Selatan, China dan Taiwan. Hasil ngobrol-ngobrol saya dengan mereka, para wanita di negaranya banyak yang berhenti dari pekerjaan mereka saat mereka memiliki anak. Mereka akan fokus untuk mengurus anaknya. Memang sih, banyak alasan lain mengapa wanita di negara mereka berhenti dari pekerjaannya saat telah memiliki anak, bisa jadi karena gaji untuk membayar seorang pembantu / babysitter sangat tinggi. Namun, saya melihat hal positifnya, yaitu anak memperoleh didikan dan juga kasih sayang penuh dari ibunya. Pasti akan beda jika parenting dilakukan langsung oleh orangtua (terutama ibu) daripada harus “berbagi” dengan oranglain (pembantu / babysitter). Menurut saya The M-Shaped Curve juga berlaku di negara maju lainnya.

Ibu-Ibu di Indonesia

Lalu, bagaimana dengan ibu-ibu di Indonesia? Apakah The M-Shaped Curve juga berlaku di Indonesia? Saya tidak tahu, apakan sudah ada penelitian tentang hal ini atau belum. Namun menurut saya, The M-Shaped Curve tidak berlaku di Indonesia. Para wanita di Indonesia jarang ada yang berhenti dari pekerjaannya saat sudah memiliki anak. Mereka akan lebih memilih untuk menggaji pembantu / babysitter atau menitipkan anaknya pada orangtua atau saudaranya daripada harus berhenti dari karir yang telah dirintisnya sejak belum menikah.

Keluarga adalah pondasi paling dasar untuk membentuk manusia yang berkualitas dan negara yang maju/mandiri karena di keluargalah tempat sebagian besar karakter seseorang akan terbentuk. Supaya karakter yang terbentuk menjadi berkualitas, tentunya dibutuhkan orang yang berkualitas juga dalam pengasuhan anak. Jika pengasuhan diberikan pada pembantu / babysitter yang umumnya hanya lulusan (paling bagus) SMP, bagaimana kita akan bisa menghasilkan anak-anak yang berkualitas dan negara yang maju akan tercipta?

Ironis memang, tapi itulah perbedaan ibu-ibu di negara maju dan di Indonesia. Dan bisa jadi hal inilah yang menjadi salah satu penyebab negara kita tercinta ini mengalami krisis multidimensi yang sampai sekarang belum ada jalan keluarnya.

Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, para wanita Indonesia, untuk fokus mengasuh anak supaya menghasilkan 1 manusia yang benar-benar berkualitas.

Terbaik Untuk Siapa?

Broken Home (Image from: http://www.zawaj.com)

Terhenyak saat membaca kalimat ini “Mau makanannya ga enak, rumahnya kecil. Ga papa, karena itu tempat aku dan keluarga aku… Bukan numpang sama orang lain”

************

Kalimat itu ditulis oleh anak yang orangtuanya cerai. Hak asuh si anak jatuh ke tangan ibu. Namun si ibu saat ini sedang di luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya anak tersebut ikut dengan nenek dari ibunya. Pasti bertanya-tanya, “Si Bapak kemana?”. Si bapak ingin sekali mengambil anak tersebut dan mengasuhnya, namun karena alasan satu dan lain hal, pihak keluarga ibu tidak mengijinkan si anak “diambil” oleh bapaknya.

************

Saya juga berasal dari keluarga broken home. Orangtua saya bercerai saat saya kelas 6 SD. Saya tahu bagaimana rasanya tinggal tidak dengan orangtua. Memang paling enak tinggal sama orangtua sendiri biar dikata harus tidur di rumah bedeng dan makan nasi aking.

Kalau kejadiannya sudah terjadi perceraian, mau nggak mau anak harus ikut salah satu orangtuanya. Dan orangtua yang mendapat hak asuh tersebut harus benar-benar bertanggung jawab akan amanah yang telah dipercayakan pengadilan padanya. Jangan malah menelantarkan anak dengan menitipkannya pada orang lain (walaupun itu kakek/nenek dari si anak sendiri), dengan alasan apapun.

Kalau anak sampai dititipkan pada orang lain, maka yang terjadi apa? Kalimat seperti di atas bisa terucap tertulis oleh sang anak.

************

Orangtua terkadang terlampau sok tau mana yang terbaik untuk anak.

“Kamu lebih baik disini karena bla, bla, bla, bla…”

“Kamu sebaiknya les ini supaya bla, bla, bla, bla…”

“Kamu harus begini, begitu, supaya nanti bisa begini dan begitu”

Tapi apakah mereka menyadari apa sebenarnya yang dirasakan oleh anak atas pilihan yang dengan semena-menanya mereka putuskan sepihak?

Apa benar itu yang terbaik untuk anak?

 

Apa sih sebenarnya ukuran akan jadi yang terbaik untuk anak?

Apakah ada jaminan pilihan orangtua saat ini akan jadi yang terbaik bagi sang anak nanti?

************

Si anak tak berdaya. Dia tak mampu melakukan apa-apa untuk mengungkapkan apa yang dia mau. Dia hanya bisa curhat pada orang yang tidak mampu melakukan apa-apa untuknya karena hal tersebut di luar teritori kekuasaan orang itu.

Si anak takut dipersalahkan. Si anak takut menyakiti hati dari salah satu orangtuanya. Si anak tak mampu memilih jalan yang dia mau karena dia masih anak-anak.

Lalu, sebenarnya terbaik untuk siapa???

 

Miris, tapi itu yang terjadi.

Just Two of Us

Tanggal 18 Januari yang lalu saya ke Jakarta. Umm, sebenernya tujuan utama bukan ke Jakarta sih, tapi ke Bogor. Tapi karena nggak ada pesawat yang mendarat di Bogor, Jadilah saya “terbang” ke Jakarta. Ke Jakarta, I mean Bogor, bukan hal yang luar biasa buat saya. Dan bukankah dulu saya juga sering banget bolak-balik Denpasar-Bogor. Tapi perjalanan kali ini lumayan luar biasa karena saya melakukan perjalanan berdua saja dengan putri saya tercinta, Marvina Annora Sitorus.

Avi naik troley Bandara

Persiapan di Rumah

Pesawat saya take off dari Denpasar-Bali pukul 6 pagi. Itu artinya saya paling nggak sudah harus ada di bandara satu jam sebelum keberangkatan. Berarti lagi, saya harus siap-siap dari rumah mulai pukul 3 pagi. Huaaa… jam segitu kan enak banget buat tidur nyenyak… Apalagi buat si bebi, Avi. Ya, mau nggak mau, saya harus bangun jam segitu untuk siap-siap. Perlengkapan kami sudah saya siapkan sehari sebelumnya. Jadi saat itu saya hanya tinggal mempersiapkan diri saya da juga si kecil. Jam setengah empat pagi saya sudah siap dan si kecil pun tiba-tiba terbangun. Biasanya kalau si kecil terbangun jam segitu dia hanya minta minum susu saja. Tapi nggak tahu kenapa, Avi terbangun dari tidurnya dan langsung duduk, terus senyum-senyum sama saya. Mungkin dia tahu kali ya kalo kami mau pergi. Saya pun langsung mengelap badan si kecil dengan air hangat sekaligus mengganti bajunya. Tepat jam empat pagi kami sudah siap berangkat ke Bandara.

Sesampainya di bandara Avi langsung tertidur lagi. Hmm, padahal saya berharap kalau ddia akakn tidur di pesawat saja. Saya sih ingin menahan tidurnya degan mengajaknya mengobrol, tapi karena kasihan melihat Avi yang sepertinya masih teramat sangat mengantuk, ya sudah saya biarkan dia tertidur di ruang tunggu sambil berharap kalau nanti pas di dalam pesawat dia masih tetap tertidur.

On the Plane

Ternyata yang saya harapkan tidak terjadi. Pas waktu saya naik pesawat, Avi kaget dan dia terbangun. Huaaa… Semoga aja saat take off nanti Avi nggak nangis karena sakit telinga akibat dari perubahan tekanan udara yang tiba-tiba berubah.

Harapan saya terkabul. Avi anteng saat take off. Tapi nggak lama setelah takje off ternyata Avi poop… Waduh, perlengkapan Avi ada di tas yang sudah saya taruh di cabin. Agak riweuh ngambil ini-itu dari cabin dan membongkar tas saya. Alhamdulillahnya Garuda Indonesia memberi baby kit yang berisi 1 diapers, bedak kecil, tisuue basah, bibs, dan plastik tempat diapers kotor. Saya langsung bawa Avi ke lavatory yang ada di dalam pesawat.

Membersihkan bayi yang sudah bisa gugulingan dan merangkak dari kotoran poop bukan pekerjaan yang mudah di lakukan. Kalau di rumah biasanya saya langsung cebokin pakai air. Tapi ini kan di toilet pesawat yang sempit dan nggak mungkin saya cebokin seperti biasa. Akhirnya saya tidurkan Avi di meja yang khusus dirancang untuk bayi yang terletak diatas kloset. Saya bersihkan bagian yang terkena bekas poop. Untungnya Avi saat itu mau berkompromi dengan saya. Saat dibersihkan Avi tidak banyak bergerak dan mau mengikuti instruksi saya.

Lebih dari satu jam Avi adem ayem saja di dalam pesawat, bahkan saat saya menikmati breakfast yang disediakan oleh pihak maskapai, Avi nggak ribut minta makanan yang saya makan. Saya mengajak Avi mengobrol dan kadang menyanyikan lagu untuknya. Akhirnya Avi mengantuk, sayapun mengambil posisi untuk menidurkannya. Avi sudah tertidur, tapi belum nyenyak, pesawat sudah saatnya landing. Tekanan udara berubah secara drastis. Hal ini menyebabkan telinga Avi sakit dan mengusik tidurnya. Pasti tahu dong apa yang terjadi selanjutnya? Ya, Avi nangis nggak karu-karuan! Saya sudah mencoba untuk mendiamkan Avi, tapi tetap saja Avi nggak mau berhenti nangisnya. Udah kadung sakit hati kali ya karena tidurnya keganggu. Tangis Avi semakin kencang, pramugari pun mulai berdatangan satu per satu untuk mencoba membantu mendiamkan Avi. Tapi nggak ada yang berhasil. Avi baru mau diam setelah pesawat benar-benar menjejak tanah.

Fiuuuhhh… Pengalaman pertama naik pesawat berdua saja sama Avi ternyata cukup “menghebohkan”… 😀

Avi dan Ibu di Bandara Soekarno Hatta-Jakarta

 

Selamat Ulang Tahun Anakku Sayang

Ulang tahun anak saya (Avi)

Satu tahun berlalu. Nggak kerasa ternyata saya sudah satu tahun menyandang predikat sebagai ibu.

Banyak suka dukanya. Ada tawa, ada tangis, ada kesal, ada bahagia, dan yang pasti… banyak rempong & riweuhnya! Hahaha…

Anyway, apapun itu yang saya rasakan dalam menjadi ibu, mengasuh dan merawat anak saya. Satu hal yang nggak bisa saya pungkiri adalah anak saya satu-satunya orang yang bisa membuat tangis saya berubah menjadi tawa, anak saya yang membuat saya tetap bertahan dalam kondisi seperti apapun.

Hmmm, kok malah jadi curhat…

Happy Birthday Avi, anakku sayang…

Semoga Avi jadi anak yang solehah, baik, pintar, tidak sombong, tetap murah senyum. Yang pasti, semua yang terbaik untuk Avi.

Ibu sayang Avi

Maaf…

Forgive Me (image by: http://brenditaworks.deviantart.com)

Maaf…

Maaf jika saya masih belum bisa menjadi istri yang baik

Maaf jika saya masih belum bisa menjadi ibu yang baik

Karena 2 hal itu ternyata (tidak) mudah untuk dilakukan