Terbaik Untuk Siapa?

Broken Home (Image from: http://www.zawaj.com)

Terhenyak saat membaca kalimat ini “Mau makanannya ga enak, rumahnya kecil. Ga papa, karena itu tempat aku dan keluarga aku… Bukan numpang sama orang lain”

************

Kalimat itu ditulis oleh anak yang orangtuanya cerai. Hak asuh si anak jatuh ke tangan ibu. Namun si ibu saat ini sedang di luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya anak tersebut ikut dengan nenek dari ibunya. Pasti bertanya-tanya, “Si Bapak kemana?”. Si bapak ingin sekali mengambil anak tersebut dan mengasuhnya, namun karena alasan satu dan lain hal, pihak keluarga ibu tidak mengijinkan si anak “diambil” oleh bapaknya.

************

Saya juga berasal dari keluarga broken home. Orangtua saya bercerai saat saya kelas 6 SD. Saya tahu bagaimana rasanya tinggal tidak dengan orangtua. Memang paling enak tinggal sama orangtua sendiri biar dikata harus tidur di rumah bedeng dan makan nasi aking.

Kalau kejadiannya sudah terjadi perceraian, mau nggak mau anak harus ikut salah satu orangtuanya. Dan orangtua yang mendapat hak asuh tersebut harus benar-benar bertanggung jawab akan amanah yang telah dipercayakan pengadilan padanya. Jangan malah menelantarkan anak dengan menitipkannya pada orang lain (walaupun itu kakek/nenek dari si anak sendiri), dengan alasan apapun.

Kalau anak sampai dititipkan pada orang lain, maka yang terjadi apa? Kalimat seperti di atas bisa terucap tertulis oleh sang anak.

************

Orangtua terkadang terlampau sok tau mana yang terbaik untuk anak.

“Kamu lebih baik disini karena bla, bla, bla, bla…”

“Kamu sebaiknya les ini supaya bla, bla, bla, bla…”

“Kamu harus begini, begitu, supaya nanti bisa begini dan begitu”

Tapi apakah mereka menyadari apa sebenarnya yang dirasakan oleh anak atas pilihan yang dengan semena-menanya mereka putuskan sepihak?

Apa benar itu yang terbaik untuk anak?

 

Apa sih sebenarnya ukuran akan jadi yang terbaik untuk anak?

Apakah ada jaminan pilihan orangtua saat ini akan jadi yang terbaik bagi sang anak nanti?

************

Si anak tak berdaya. Dia tak mampu melakukan apa-apa untuk mengungkapkan apa yang dia mau. Dia hanya bisa curhat pada orang yang tidak mampu melakukan apa-apa untuknya karena hal tersebut di luar teritori kekuasaan orang itu.

Si anak takut dipersalahkan. Si anak takut menyakiti hati dari salah satu orangtuanya. Si anak tak mampu memilih jalan yang dia mau karena dia masih anak-anak.

Lalu, sebenarnya terbaik untuk siapa???

 

Miris, tapi itu yang terjadi.

Leave a Reply