Siapa Bilang Menikah itu Enak?

Yup, siapa bilang menikah itu enak???

Memang sebagian orang yang masih single (termasuk saya dulu), ingin sekali menikah dan memiliki pasangan hidup. Tapi setelah dijalani sendiri, menikah itu ternyata nggak enak! Makanya sekarang kalau ada teman saya yang status-statusnya di media sosial menunjukkan kalau dia pengen banget menikah, saya seringkali mencibir, “nanti lo rasain gimana nggak enaknya nikah!”.

Kalau saya boleh memilih lagi dan memutar waktu kembali ke beberapa tahun yang lalu, saya akan memilih untuk menjadi single saja. Menikah, punya suami, itu repot ternyata bo! Ngurus suami itu lebih repot daripada ngurus anak. Istri banyak nggak benernya di mata suami. Bagus kalau suaminya nggak macem-macem. Kalau ternyata si suami tukang selingkuh atau “ringan tangan” alias sering melakukan KDRT, wuiihhh…. hidup udah seperti di neraka. Bagus kalau nanti pas di akhirat masuk surga, lah ini, udah di dunia serasa di neraka, di akhirat juga harus masuk neraka. Rugi dua kali kaannn…

Waduh, kok bahasannya ngelantur ya… Okay, balik ke judul di atas.

Menikah, awalnya mungkin memang terasa enak, dunia serasa milik berdua, tapi coba kalau sudah masuk tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, yang ada cuma rasa letih. Apalagi seperti saya yang hanya seorang ibu rumah tangga. Hidup saya hanya berputar sama yang namanya anak dan suami.

Stuck (image from: www.dreamstime.com)
Stuck (image from: www.dreamstime.com)

Nggak mau munafik, saya seringkali merasa bosan di rumah terus. Masih belum lagi kalau ada masalah dengan suami, nggak ada tempat buat curhat, jadi semuanya “ditelen” sendiri. Trus, ditambah dengan posisi saya yang tidak bisa menghasilkan materi, membuat saya seringkali merasa terpojok karena telah menghabiskan uang sedemikian banyaknya untuk memenuhi keinginan saya.

Sungguh, kalau misalnya saya boleh memilih, saya akan kembali menjadi single, yang bebas melanglang buana seperti dulu, mencapai mimpi-mimpi saya. Namun, komitmen dan tanggung jawab akan banyak hal memaksa saya untuk tetap bertahan di posisi ini.

Pesan saya untuk para single, posisimu saat ini adalah yang terenak. Nikmati saja dulu sebelum nantinya kau akan terbangun dari mimpi indah karena sebuah kata yang bernama pernikahan.

Jangan Sampai Menyesal

Masih seputar ibu rumah tangga dan full time mother, profesi yang saya geluti saat ini. Kadang saya ngerasa iri pada teman-teman saya yang bekerja disini, lanjut kuliah disana, dan pencapaian-pencapaian lain yang mereka dapatkan. Ingin sekali rasanya bisa mengaktualisasikan diri lagi seperti mereka. Tapi saya tidak bisa. Saya stuck di rumah. Saya harus jadi ibu rumah tangga. Saya harus mengurus anak saya.

Jujur, saya kadang benci sama keadaan saya saat ini yang HANYA menjadi ibu rumah tangga biasa. Mungkin perasaan yang sama juga seringkali dirasakan wanita lain yang berprofesi sama seperti saya. Menurut saya sih hal itu wajar. Apalagi untuk wanita yang dulunya sibuk berkarier, lalu tiba-tiba harus berhenti bekerja di luar rumah karena sudah berkeluarga dan memiliki momongan. Perasaan tersebut sangat manusiawi. Tapi kita jangan sampai terbelenggu terus-terusan dengan hal itu. Ingat, ada banyak hal yang membutuhkan perhatian kita. Itulah pentingnya ada ibu rumah tangga.

Saya dan anak saya (Avi)
Saya dan anak saya (Avi)

Perasaan kesal yang saya rasakan saat menyadari saya hanya seorang ibu rumah tangga berubah saat saya sadar anak saya saat ini sangat membutuhkan perhatian saya. Anak saya, Avi, yang sekarang berusia 27 bulan menjadikan saya sebagai pusat kehidupannya. Ada perasaan lain saat anak saya memanggil “ibu, ibu” untuk setiap hal yang Avi lakukan dan ia ingin menunjukkan pada saya. Memang capek, tapi lumayan bikin girang kalau anak saya ngajakin saya joged-joged atau dansa ala princess. Dan yang pasti, saya tau kalau ada satu orang yang selalu menemani saya saat ini.

Saya jadi menikmati profesi saya sebagai ibu rumah tangga, menikmati setiap detik yang saya lalui bersama Avi. Mensyukuri bahwa saya bisa 24 jam selama tujuh hari saya menjadi full time mother, selalu bersama-sama Avi. Saya juga bisa memantau setiap perkembangan Avi. Semua itu sesuatu yang tidak bisa tergantikan dengan hanya sekedar aktualisasi diri, sesuatu yang tidak bisa kita ulang kembali di kemudian hari.

Saat anak kita baru lahir sampai sekitar umur 7 tahun adalah waktu yang sangat berharga bagi kita untuk mendapatkan perhatian penuh dari anak. Karena setelah usia tersebut anak akan mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Saat itulah kita yang nantinya malah minta perhatian dari anak. Apalagi saat anak memasuki masa puber. Habislah waktu anak untuk kita. Maka dari itu, saat kita masih jadi pusat kehidupan anak, jangan sia-siakan waktu yang ada supaya kita jangan sampai menyesal nantinya.