”Ekonomi, seks dan anak adalah tiga permasalahan utama yang menyebabkan perceraian”, kata Dr. Euis Sunarti di salah satu sesi saat saya mengambil mata kuliah Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga tahun 2008. Dan ketika saya amati beberapa kasus perceraian, memang benar adanya. Tiga permasalahan inilah yang menyebabkan sebagian besar suami istri harus mengakhiri hubungannya.
Ekonomi
-Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang-
Tak dapat kita pungkiri kalau ekonomi memegang peranan penting dalam setiap sendi kehidupan. Semua kebutuhan pokok butuh dibeli dengan uang. Kebutuhan pokok disini tidak hanya untuk biaya makan lho ya, tapi juga biaya untuk pendidikan dan kesehatan. Dan tentunya Anda tahu kan bagaimana mahalnya biaya untuk pendidikan dan kesehatan saat ini?
Kalau biaya-biaya itu tidak dapat terpenuhi, akan muncul tuntutan dari sang istri pada suaminya. Istri pasti akan mempertanyakan kewajiban suami sebagai pecari nafkah. ”lho, kok nggak bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga?”. Di sisi lain si suami yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenuhi semua kebutuhan keluarganya ditanya seperti itu, bisa jadi langsung ”meledak” jika ia tidak memiliki kontrol emosi yang baik. Nah, kalau kondisinya sudah seperti ini pertengkaran seringkali tak dapat dihindari. Kalo sudah bertengkar dan kedua belah pihak sama-sama emosi, kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan seringkali terucapkan juga. Terus ujung-ujungya saling sakit hati, ngambek, mogok ngomong, pisah ranjang, dan berakhir di pengadilan agama… Fiuuhhh, semudah itukah mengakhiri hubungan pernikahan?
Seks
Permasalahan kedua, seks. Dalam suatu hubungan pernikahan, seks juga memegang peranan penting dalam keharmonisan hubungan keluarga. Sudah banyak penelitian dilakukan oleh para ahli bahwa seks mampu menurunkan stress. Masalahnya adalah seringkali orang menganggap tabu membicarakan masalah seks walaupun hal itu dibicarakan bersama pasangan sendiri. Padahal hal ini urgent untuk dibicarakan. Terutama apabila kita merasa tidak puas saat melakukan hubungan seks dengan pasangan kita. Hal ini bisa jadi masalah besar yang berujung pada perceraian kalau kita tidak mengkomunikasikannya. Pasangan kita nggak akan tahu apa kita puas atau tidak kalau kita tidak menyampaikannya.
Jika kita tidak menyampaikan ketidakpuasan dalam berhubungan seks dengan suami/istri kita dan terus saja mendem hal itu sendiri, (mungkin) kita akan merasa teramat sangat tidak nyaman dalam melakukan hubungan seks. Ujung-ujungnya, kita melakukan hubungan seks dengan terpaksa bahkan (mungkin) cenderung meyakitkan. Ada salah satu pihak yang dirugikan dalam hubungan ini. Kalau sudah begini, pihak yang tidak puas dan merasa dirugikan itu akan mencari kompensasinya. Kompensasinya apa? Ya bisa saja dengan berselingkuh dengan orang lain untuk mendapatkan apa yang tidak bisa didapatkannya dari pasangannya sendiri. Orang ketiga seringkali menjadi pemicu retaknya rumah tangga yang berakhir (lagi-lagi) di meja pengadilan agama.
Anak
Permasalahan terakhir yang (sebagian besar) dapat memicu perceraian adalah anak. Lho kok bisa? Bisa saja karena permasalahan anak pastinya juga permasalahan orang tua. Begini, saya beri contoh ya.
Saya pernah membaca sebuah novel (true story) yang ceritanya tentang perjuangan seorang ibu membesarkan anaknya yang autis. Pada waktu itu masih belum banyak orang ataupun para ahli di Indonesia yang mengetahui tentang autis ini. Perkembangan anak itu pastinya tidak senormal anak-anak pada umumnya, si ibu sangat bingung dengan kondisi si anak. Si ibu ingin berbagi dengan sang ayah untuk menghadapi permasalahan ini, namun sang ayah tidak mau ambil pusing dengan masalah anaknya. Si ibu marah dengan sang ayah karena menurutnya permasalahan anak harus dihadapi bersama. Tetapi sang ayah tidak terima dan ia malah balik lebih marah. Jadi di keluarga itu akhirnya tidak ada lagi yang namanya keharmonisan keluarga, dan hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun.
Dari cerita saya di atas, sudah jelas bukan kalau anak juga mampu memicu retaknya hubungan rumah tangga? Yah, terkadang permasalahan anak bisa menjadi duri dalam perjalanan kehidupan keluarga, apalagi kalau kedua orang tua tidak kompak dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Mereka saling lempar tanggung jawab satu sama lain. Salah satu pihak merasa telah banyak berkorban dan merasa pihak lain lepas tanggung jawab begitu saja. Kalau sudah begini tidak menutup kemungkinan pertengkaran demi pertengkaran dapat terjadi. Kalau hal itu terus berlanjut tanpa dicari solusinya, maka bukan hal yang mustahil kalau permasalahan ini juga berujung di meja pengadilan agama, ya nggak?
(lagi-lagi) Komunikasi
Tiga permasalahan di atas tentunya bisa menjadi momok dalam kehidupan rumah tangga yang ujung-ujungnya bisa berakhir pada kata cerai (aduh, nggak tahu kenapa saya kok trauma ya dengan satu kata itu?). Bukanlah hal yang bijak jika kita saling menyalahkan satu sama lain jika permasalahan seperti itu muncul. Yang terpenting harus dilakukan adalam mencari solusinya. Dan solusi yang menurut saya paling ampuh, ya apalagi kalau bukan komunikasi.
Di tulisan saya sebelumnya saya seringkali menekankan pentingnya menjaga komunikasi, terutama dalam hubungan keluarga (suami-istri ataupun orangtua-anak). Karena komunikasi adalah kunci dari segala jenis hubungan yang ada, baik hubungan pertemanan, kolega bisnis apalagi hubungan keluarga.
Orang lain tidak akan tahu apa yang kita rasakan kalau kita tidak mengkomunikasikannya, tidak memberitahunya. Namun, komunikasi yang harus dijalin adalah komunikasi yang baik. Saat kita ingin menyampaikan suatu permasalahan pada pasangan kita, usahakan pilih waktu yang tepat, jangan pada saat suami baru pulang kerja dalam keadaan capek kita langsung mencecarnya dengan berbagai permasalahan yang ada di rumah. Selain itu, usahakan untuk memilih kata-kata yang tidak menyakiti hati pasangan kita. Tekan dulu sifat egois yang ada pada diri kita dan cobalah untuk menempatkan diri pada sisi orang lain (pasangan kita). Dan yang terakhir adalah, fokuskan pada bagaimana cara mencari solusi (yang tentunya bukan kata cerai) dari permasalahan dan tidak hanya sekedar menyampaikan uneg-uneg yang kita rasakan.
Saya rasa itulah yang bisa menyelamatkan hubungan rumah tangga. Memang, saya belum berkeluarga dan belum mengalami semua itu. Tapi saya bisa menuliskan semua ini karena hal tersebut sesuai pengetahuan saya dengan kapasitas saya sebagai salah satu mahasiswa yang sebentar lagi akan lulus dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen. Saya belajar tentang keluarga dan tentunya tentang hal yang saya tuangkan di atas. Semoga apa yang saya tuliskan ini bisa bermanfaat bagi Anda yang membacanya. Amien… 🙂
Bogor, 21 Mei 2010 09:04
~Okvina Nur Alvita
yap betul sekali…kak okvina
intens membangun komunikasi dalam family sangat perlu, perlu adanya ketebukaan satu sama lain baik hub suami-isteri dan hub orang tua dan anaknya.
beberapa yg pernah saya liat dari adat turun temurun example adat kebiasaan pola hidup dalam keluarga, tingkat pendidikan dan spritual
juga mempengaruhi generasi seterusnya
permasalahan seperti diatas perlu adanya intimacy antar pasangan bagaimana merancang kehidupan lebih bai dalam membangun keluarga sehat dan cerdas,permasalahan keluarga harus diselesaikan dengan musywarah dan komunikasi yang baik^_^