Gerobak Nasi Goreng, saya tentu nggak akan ngebahas tentang pembuatan gerobak nasi goreng atau seluk beluk gerobak nasi goreng. Soalnya bikin sesuatu bentuk dari mainan blog anak saya Avi saja, saya suka bingung, gimana mau bikin gerobak nasi goreng?? Ya kan??
Anyway, saya akan ngebahas filosofi di balik gerobak nasi goreng. Waduh, kok kesannya jadi serius banget gini ya? Filosofi. Serasa balik lagi ke jaman kuliah dulu. Oke, sekarang buka chapter delapan. Nah loh! Yuk ah, mulai pembahasannya.
Beberapa penjual nasi goreng atau penjual makanan kaki lima jenis lain kadangkala personilnya sepasang suami istri. Sebagian besar orang mungkin tidak memperhatikan sisi lain dari penjual makanan kaki lima yang personilnya sepasang suami istri. Saat mereka beli nasi goreng, mereka cuman pesen, makan, bayar, pulang. Atau pesen, bungkus, bayar, pulang. Coba deh kita perhatiin di luar prosesi jual beli nasi gorengnya, tapi gimana sepasang suami istri saling bahu-membahu dan mendukung untuk mencapai tujuan mereka. Memang sih mungkin banyak yang melihat hal itu simple, hanya saling membantu jualan nasi goreng. Tapi suami saya tercinta, tersayang, tapi (bukan) yang terganteng (ups, sorry honey… ), melihat sisi lain dari gerobak nasi goreng yang sama dia saya akhirnya dibikin judul tulisan ini “Filosofi Gerobak Nasi Goreng”. Dibali gerobak nasi goreng ada suami bertugas ngegoreng nasi sedangkan istrinya bertugas menggoreng telur dan menyiapkan bahan-bahan nasi goreng (atau sebaliknya). Mereka bekerja sama dengan kompak, saling berbagi tugas dengan baik. Dan saat berangkat ataupun pulang suami istri tersebut sama-sama mendorong gerobak nasi goreng mereka.
Dari “ritual” di balik gerobak nasi goreng oleh pasangan suami istri itu apa yang bisa kita petik? Mereka saling bahu membahu untuk mencapai tujuan mereka, itulah “Filosofi Gerobak Nasi Goreng” versi suami saya. Nah, pertanyaannya sekarang adalah apakah kita sudah menerapkan filosofi tersebut dalam kehidupan rumah tangga kita? Atau kita terlampau egois dengan tujuan/pencapaian diri sendiri?? Silahkan dijawab dalam hati masing-masing, tapi kalau ada yang mau jawab dengan semangat 45 juga monggo. Hehehe…
Filosofi gerobak nasi goreng serasa menampar saya. Bukan hanya sekali saya ingin kembali bekerja di luar rumah. Mengembangkan karir. Beraktualisasi diri. Mewujudkan mimpi pribadi. Apalagi kalau melihat teman-teman saya udah begini-begitu, wuiihh… makin mendidih rasanya pengen kembali aktif di dunia saya yang dulu. Tapi lalu saya merenung, berpikir, untuk apa saya bekerja di luar rumah hanya untuk mengejar upah yang nggak lebih dari lima juta sebulan dan harus mengorbankan waktu bersama keluarga saya (terutama anak). Lebih baik saya di rumah, mengurus anak dan rumah sambil membantu suami mengurus usaha kami, ya kan?
Ya, saya saat ini bersama-sama suami mendorong gerobak dan jualan nasi goreng berdua. Jangan dibayangkan saya ibu-ibu gendut yang jualan nasi goreng di pinggir jalan lho ya (karena aslinya kan sekseh abis cyin!), itu cuma kiasan aja, yang diambil kan filosofinya. Kami bersama-sama sedang membangun, sama-sama berdarah-darah mempertahankan usaha yang saat ini dijalani, sama-sama berbagi tugas untuk mencapai tujuan bersama. Kami sedang menerapkan filosofi gerobak nasi goreng.
Filosofi Gerobak Nasi Goreng oleh suami saya (Marvin Sitorus), simple tapi dalem banget untuk kehidupan rumah tangga.
Filosofi gerobak nasi goreng. Posting ini mengingatkan saya pada salah satu suami-isteri penjual ketroprak di Jakarta langganan saya. Cerita ini menarik. Jadinya harus ada kerjasama, bahu membahu antara suami dan isteri, ya mak ^^