Halo para istri dan para pembaca celotehistri.com,
Ini adalah posting pertama saya setelah entah sudah berapa lama vacum di dunia perblogan. Di posting pertama ini saya mau bahas tentang… ya tentang apa lagi kalau bukan tentang kehidupan berumah tangga. Yap, tentang kehidupan rumah tangga, terutama tentang hubungan di antara suami-istri.
Suami dan istri, 2 individu yang tentu berbeda, jenis kelaminnya saja berbeda. Waktu masih pacaran atau di awal pernikahan, perbedaan itu masih nggak terlalu kentara karena seringnya kita merasa cocok dengan seseorang karena memiliki banyak persamaan. Tapi, lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit perbedaan mulai terasa apalagi kalau ditambah dengan kekurangan atau keburukan pasangan yang baru kita ketahui. Wuiiihhh… bisa-bisa bikin salah satu pihak merasa nggak nyaman dan akhirnya hari-hari dipenuhi dengan cek-cok, yang bukan nggak mungkin kalau berakhir dengan kata cerai.
Ya, perbedaan-perbedaan yang ada bisa menuju ke tahap bubarnya suatu pernikahan. Tapi apa nggak bisa gitu nggak bubar dengan segala macam perbedaan yang menyelimuti kehidupan berumah tangga? Jawabannya tentu saja bisa!
Okay, fine. Ini memang case per case, tergantung masing-masing individu. Kita nggak bisa menyamakan semua orang, semua kasus, semua suami istri. Tapi setidaknya, jika ada yang bisa bertahan dengan segala perbedaan yang ada, kenapa yang lain nggak mencoba untuk melakukan hal yang sama? Ya kan? Walau memang sih, setiap orang tentu punya batasan masing-masing dalam menghadapi setiap perbedaan yang ada di antara suami-istri. Namun apa salahnya bertahan, bukan?
Saya dan suami juga memiliki banyak perbedaan, dari hal yang paling simple sampai hal yang sangat prinsip. Seperti: kalau udah ketemu kasur suami saya bisa dengan sangat cepat terlelap, sedangkan saya harus gugulingan dulu, harus ngitung sampai seratus, harus lihat-lihat sosmed dulu, itupun juga seringkali nggak bisa langsung terlelap. Lalu, suami saya yang bangun selalu pagi, sedangkan saya yang susah banget bangun pagi. Masih belum lagi kebiasaan suami saya mengumbar semua keburukan saya di ruang publik sedangkan saya yang nggak pernah bisa melakukan hal yang sama. Sampai pada ke urusan ranjang juga ada perbedaan. Trus lagi, perbedaan kami yang paling prinsip adalah soal agama. Ya, kami berbeda keyakinan. Tapi percayalah, kami belum pernah sekalipun berantem karena urusan perbedaan agama kami. Percekcokan kami seringnya karena hal lain.
Nah, jadi ketauan kan kalau rumah tangga saya juga sama seperti orang lain pada umumnya. Walaupun kelihatannya baik-baik saja, namun sebenarnya banyak sekali perbedaan di antara saya dan suami yang bisa menyulut perselisihan.
Dari semua perbedaan saya dan suami itu, yang paling sering bikin saya berang adalah kebiasaan suami saya yang mengumbar kekurangan dan keburukan saya di media sosial. Oke, memang apa yang dituliskan suami saya di status-statusnya memang itulah kenyataannya, walau beberapa juga dilebai-lebayin supaya saya terkesan buruk banget. Tapi siapa sih yang suka keburukannya dan kekurangannya diumbar di ruang publik hingga seluruh dunia tau? Saya rasa nggak satupun orang yang berkenan untuk hal itu.
Kalau saya lagi capek atau sebelumnya udah kesal sama suami, tentu saja saya berang dengan apa yang dibuatnya yang pada akhirnya timbul pertengkaran hebat antara saya dan suami. Sungguh itu bukanlah sesuatu yang saya inginkan ada pada rumah tangga saya. Tapi kalau saya lagi “bener” / lagi calm maka biasanya saya hanya menangis. Saya menangis untuk mengeluarkan semua perasaan buruk yang saya rasakan saat itu. Setelah menangis sampai tersedu-sedan (halah, tapi beneran lho…), biasanya perasaan saya sudah mulai agak mendingan walau masih tetap kesal sih sama suami. Tapi sedikit demi sedikit saya mulai bisa introspeksi, menanggalkan ego saya, dan yang pasti tidak membalas suami dengan perlakuan yang sama.
Walaupun saya ingin sekali membalas suami, melakukan hal yang sama. Mengumbar semua keburukan dan kekurangannya di ruang publik, namun saya tak pernah sanggup untuk melakukannya. Saya selalu merasa yang seperti itu bukanlah saya. Bahkan untuk sekedar curhat tentang keburukan suami ke keluarga saya (ke mama atau ke kakak saya) atau ke teman saya, saya nggak pernah melakukannya.
Saya selalu merasa setelah saya memilihnya menjadi pendamping hidup saya, maka baik-buruknya dia adalah murni tanggung jawab saya. Ya harus saya terima semua itu. Harus saya telan sendiri sepahit apapun.
Anyway, setelah puas menangis, dan saya sudah mulai bisa introspeksi diri, walaupun nggak bisa dipungkiri kalau saya masih merasa sedih, saya berusaha untuk bertindak seperti nggak terjadi apa-apa pada diri saya. Saya berusaha melayaninya sesuai seperti yang ia inginkan. Walau mungkin dimatanya masih selalu ada yang kurang, yang pasti saya sudah berusaha untuk seperti yang dia inginkan.
Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan. Pernahkah saya kepiriran untuk bubar saja sama suami? sering! Terutama kalau lagi berantem seperti itu. Tapi lantas saya berpikir, apakah kalau saya berpisah dengannya maka semuanya akan beres? Apakah saya akan dapat pengganti yang lebih baik darinya? dan bagaimana perasaan anak saya saat tahu kalau ayah dan ibunya sudah tidak bersama lagi? Maka setelah itu, keinginan untuk pisah sama suami akan hilang dengan sendirinya. Yang ada hanyalah saya akan tetap bertahan dengan semua kekurangan, keburukan dan apalagi dengan kelebihannya.
So, apakah perbedaan akan berujung pada bubarnya suatu pernikahan? Anda sendiri yang tentukan.
Denpasar, 28 November 2015
~celoteh istri