“Stress dengan Perilaku Suami” by Lia

Berawal dari kegalauan saya yang diserang masalah bertubi-tubi masalah dan bingung mau curhat ke siapa. Tidak sengaja saya menemukan web ini. Senang sekali deh…

Saya harap pembaca bisa membantu memberi solusi buat masalah saya yang super berat ini. Amin…

Panggil saja saya Lia, usia 23 tahun. Saya termasuk menikah di usia muda, kurang lebih 1 tahun yang lalu. Suami juga seusia dengan saya, cuma terpaut 4 bulan. Saat ini kami belum dikaruniai anak. Bisa dibilang saya memang sengaja untuk menunda punya anak. Kenapa? Disini akan saya ceritakan masalahnya 🙂

Sebut saja nama suami saya Tama. Dulu kami kuliah di kampus yang sama. Setelah berpacaran kurang lebih 3,5 tahun, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Alasan menikah karena saat itu kami menjalin hubungan jarak jauh karena masing-masing kami berprofesi sebagai PNS di provinsi yang berbeda. Kami harus resmi sebagai suami istri agar saya bisa mendapat ijin mutasi ikut suami.

Dari sejak pacaran saya sudah tahu watak Tama. Orangnya keras, tempramen, over protektif dan posesif. Tapi sisi baiknya, dia setia dan perhatian. Tama adalah pacar kedua saya. Karena saya punya trauma dengan pacar pertama yang mengkhianati saya dengan perempuan lain, Tama punya plus tersendiri di mata saya karena dia begitu setia. Tapi tidak jarang sifat pemarah Tama membuat saya ingin mengakhiri hubungan kami. Ketika sedang marah, Tama sering memukul tembok, banting barang, atau gebrak meja. Padahal marahnya cuma karena hal sepele, misalnya saya tidak bisa datang waktu band dia manggung di acara kampus. Sering saya menangis. Namun saya selalu bersabar, karena saya pikir sifat seperti itu suatu saat bisa saja berubah. Akhirnya selama kami pacaran, saya lebih banyak mengalah. Oh iya, selain itu, Tama juga sangat-sangat pencemburu. Pergaulan saya agak dibatasi kalau dengan laki-laki. Misalnya saya tidak boleh tersenyum atau menyapa duluan ketika bertemu teman laki-laki.

Singkat cerita, 6 bulan sebelum kami menikah, saat itu seluruh persiapan pernikahan telah rampung, saya bertemu dengan laki-laki yang usianya lebih muda 2 tahun dari saya. Sebut saja namanya Rico. Awalnya Rico cuma saya anggap sebagi sahabat dan partner curhat yang baik. Walaupun usianya di bawah saya, tapi Rico sungguh bijaksana. Tidak jarang saya cerita tentang perilaku-perilaku kasar Tama ke saya dan dia bisa memberi solusi yang baik.

Berawal dari rasa kagum dengan cara berfikir Rico yang lebih dewasa dari umurnya, sifatnya yang begitu santun, dan ketaatannya pada agama, lama-lama benih cinta muncul di hati saya. Tapi saya sadar diri dengan status saya yang sebentar lagi akan menikah, apalagi yang saya tahu Rico sudah punya pacar di kota lain. Saya tidak mau merusak hubungan orang. Akhirnya perasaan ini cukup saya pendam dalam hati. Hingga 2 minggu sebelum hari H pernikahan, saya sudah tak sanggup lagi menahan. Saya katakan yang sejujurnya pada Rico bahwa sudah lama saya menginginkannya. Ternyata saya begitu kaget dengan reaksi Rico. Dia juga selama ini punya perasaan yang sama dengan saya, namun dia begitu takut berkata jujur karena dia tidak mau merusak rencana pernikahan saya apalagi usianya 2 tahun di bawah saya membuat dia merasa minder untuk menyatakan cinta.

Dengan perasaan menyesal bercampur ragu, saya terpaksa terus melanjutkan pernikahan. Saat itu yang ada di fikiran saya hanya orangtua dan keluarga besar. Saya terlalu takut untuk membuat malu mereka, karena semua persiapan sudah selesai dan undangan sudah disebar. Rico begitu sedih melepas saya. Dia depresi, begitu juga dengan saya. Tapi apa mau dikata, bagi saya nama baik orangtua tetap yang utama. Saya terpaksa merahasiakan dari Tama, apa yang pernah terjadi antara saya dan Rico. Beberapa bulan setelah menikah, saya akhirnya mutasi ke kota suami.

Stress (Image by: www.azumio.com)

Stress (Image by: www.azumio.com)

Tak disangka Tama akhirnya mengetahui tentang “keakraban” saya dengan Rico di masa-masa menjelang pernikahan kami dahulu. Tama marah besar. Dia meninju tembok berkali-kali. Saya berusaha menenangkan dan meminta maaf. Saya jelaskan bahwa itu hanyalah masa lalu yang tak perlu dibawa dan diungkit-ungkit lagi karena hanya akan menganggu pernikahan kami jika diungkit terus. Tapi nampaknya sejak itu Tama jadi dendam dengan saya. Dia juga semakin over posesif dan sangat curigaan. Tidak jarang saya dituduh selingkuh dengan berbagai alasan. Padahal semua tidak ada buktinya sama sekali.

Sejak menikah juga perangai Tama menjadi semakin pemarah. Lebih parah dibanding masa-masa pacaran dulu. Tama juga sangat boros. Hobinya bermusik sering menjadi sumber keributan kami. Dia menghabiskan uang berpuluh-puluh juta hanya untuk membeli alat musik dan nonton konser musik. Sama sekali dia tidak menggubris nasehat saya agar ia mulai memikirkan untuk menabung, demi masa depan kami, dan kelak kalo punya anak. Sekarang saya hampir sudah tidak pernah dinafkahi lagi. Saya hidup dengan penghasilan saya sendiri. Saya bilang ke Tama, “jatah makan” saya lebih baik dia simpan untuk tabungan bersama. Bukannya merasa tertampar dengan perkataan saya, Tama malah seolah-olah senang karena tidak perlu membiayai hidup saya lagi. Berapa penghasilannya per bulan pun saya tidak tahu persis, karena Tama tidak transparan soal keuangan.

Satu lagi hal yang membuat saya sedih. Tama membeda-bedakan orangtua saya dan orangtuanya, keluarga saya dengan keluarganya. Misalnya jika dia membelikan makanan atau barang dan memberi uang ke sepupu atau keponakan-keponakannya. Jelas sekali dia membeda-bedakan.

Terus terang saat ini saya benar2 tertekan dengan sifat Tama. Saya sudah berusaha menasehatinya dengan cara pelan ataupun kasar, tapi semua tidak berhasil. Tama terlalu keras kepala dan egois. Saat ini berat badan saya sudah turun drastis, hampir 8 kilo. Memang Tama belum pernah menyakiti saya secara fisik, tapi sungguh psikis saya sangat tersiksa.

Apa saya harus menggugat cerai? Mengingat kami belum dikaruniai anak, karena saya pikir kalo sudah punya anak akan lebih banyak lagi pertimbangan.

Terimakasih untuk pembaca yang sudah membaca cerita saya.
Akan sangat berterimakasih jika pembaca mau membantu memberi solusi atau nasehat-nasehat bermanfaat buat saya.

4 comments

  1. Transparent says:

    Saya mempunyai pengalman yang hampir sama. Sebelum menikah saya dan istri sempat LDR selama 1 tahun. Menjelang pernikahan, istri saya sempat dekat dengan cowok satu kostnya. Mengetahui hal itu membuat saya sangat kecewa. Saya merasa sudah tidak mencintainya lagi karena merasa sangat dikhianati. Selama 1 tahun pertama, saya belum bisa menerima hal tersebut. Bahkan saat hamil,saya sangat cuek pada istri saya.

    Saya juga mempunyai sifat tempramen dan sering membentak istri saya. Tidak jarang kami bertengkar karena hal itu. Tahu pertama pernikahan kami sangat tidak menyenangkan. Rasa kecewa yang mendalam membuat sifat saya semakin tidak baik.

    Namun perlahan perasaan kecewa dan marah itu perlahan memudar, karena saya merasa capek sendiri memikirkannya. Perasaan care pada istri saya mulai tumbuh saat istri saya hamil tua. Dan sekarang karena setiap seminggu sekali selama 1 minggu saya dinas ke luar daerah, mungkin karena jauh, saya pun mulai menyadari rasa sayang pada istri saya.

    Saran saya, kalau suaminya blum juga menunjukan tanda2 melunak. sebaiknya berpisah dulu untk sementara, biasanya dengan berjauhan kita bisa berpikir jernih dan akan muncul rasa rindu. Selama masa berjauhan ini, sebaiknya anda betul2 berpikir apa ada hal yang membuat anda masih mencintai suami anda atau hanya keterpaksaan saja demi nama baik keluarga.

    Jika anda memang masih punya rasa pada suami anda, selanjutnya tinggal menunggu reaksi suami anda, apakah dia punya inisiatif untuk mengajak berkumpul lagi dan menyatakan maafnya.

    KALAU SUAMI ANDA TIDAK MENUNJUKAN PERUBAHAN SEDIKIT PUN, CERAI ADALAH PILIHAN TERBAIK DAN HARUS.

    Semoga bermanfaat.

  2. adory says:

    Kalo saya di posisi Anda, saya akan memikirkan keputusan yang sama.
    Mumpung belum punya anak, saya akan akan bicarakan dengan suami, bila tetap tidak ada perubahan, saya pilih berpisah dalam arti cerai.
    Kebahagiaan pribadi ada di tangan kita, dan sudah sewajarnya kita perjuangkan.

  3. risqi says:

    kalo menurut saya.. lebih baik ini d bicarakan dengan kluarga besar sebelum ada perceraian.. karna kluarga besar pasti akan memberi solusi yg terbaik… bisa menasehati kalian berdua.. percuma kalo masalah hanya d bicarakan empat mata… tanpa ada yg jadi penengah. yg ada malah saling tuduh.. saling merasa paling benar dan hasil akhirnya malah tambah masalah baru

  4. Yahya says:

    sumbernya ini kan dari curhat dengan lawan jenis pada saat masih pacaran yang akhirnya menimbulkan rasa cinta di antara RICO dan LIA, klw qt phami lagi ini merupakan perselingkuhan hati…
    Nah coba di Check,,,
    Ketika ada seorang pria yang setia dan sudah mempersiapkan pernikahan,, ee qt sebgai mempelainya malah asik curhat dengan pria lain… yang perlu dipertanyakan..
    Apakah Allah murka terhadap sikap dan perbuatan kita?….
    Bukan setiap kejadian dan peristiwa termasuk tempramennya Tama itu terjadi atas izin dan kehendak-Nya….

Leave a Reply