Nggak Enaknya Jadi “Bayang-Bayang”

“Bayang-Bayang” itu…

Bayang-bayang adalah sesuatu yang selalu mengikuti kita kemanapun kita pergi. Tanpa disadari, sebagian orang menjadi bayang-bayang dari orang lain. Biasanya orang yang membayangi kita itu merupakan bagian dari keluarga kita sendiri. Bisa jadi ayah, ibu atau kakak. Kalau adik, saya rasa jarang sekali orang yang merasa di bawah bayang-bayang adiknya.

Mengapa kita sampai memiliki bayang-bayang? Karena orang yang lebih dahulu dari kita memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kita. Dan mereka lebih dulu dikenal daripada kita.

Di Bawah Bayang-Bayang Kakak

Jujur saya pun jadi bayang-bayang. Saya punya kakak kandung perempuan yang lumayan extraordinary (menurut saya). Namanya Ninda. Saya dan Mbak Ninda satu tempat ngaji, satu TK, satu SD, satu SMA dan satu Universitas! Hanya SMP saja yang berbeda. Pastinya orang mengenal kakak saya terlebih dahulu daripada mengenal saya. Hal ini berimplikasi pada label “Oh, adiknya Ninda ya…” atau “Kok beda ya sama kakaknya?”.

Aaarrrgggghhhh…. Sungguh, bukan hal yang cukup menyenangkan saat mendengar kalimat-kalimat itu…

Ingin rasanya membalas kalimat itu dengan jawaban “Iya, saya adiknya Ninda. Iya, saya berbeda dengan dia. Karena saya Vina bukan Ninda!”

Fiuuuuhhhh….

Label “adiknya Ninda” itu membuat saya selalu di bawah bayang-bayang kakak saya. Rasanya ada “tekanan” kalau apapun yang saya lakukan harus lebih baik dari kakak saya. At least, sama lah… Namun, parahnya untuk beberapa hal saya kalah jauh dengan kakak saya. Inilah yang terkadang membuat saya agak tertekan.

Waktu masih kecil, kakak saya jago ngaji, sedangkan saya? butuh waktu yang teramat sangat lama untuk bisa sepadan dengannya, bahkan sampai saat ini pun saya tidak bisa mengunggulinya dalam hal ini.

Sejak kecil, kakak saya selalu jadi juara kelas, sedangkan saya? Peringkat saya naik-turun terus.

Kakak saya jago nyetir, berenang, nyanyi, nari, sedangkan saya? Nari kaku banget, nyanyi fals mulu (bisa pingsan orang yang dengar suara saya kalau lagi nyanyi! Hahaha… :D), berenang hanya sekedar bisa, nyetir asal nggak nubruk aja. Hehehe… 😀

Sejak SMP, SMA dan kuliah kakak saya aktif di organisasi dan kegiatan ekstrakurukuler, sedangkan saya? Aktif juga sihhh… untuk hal yang satu ini, kami sama lah… 😀

Kakak saya bisa masuk top of the top-nya jurusan di IPB, sedangkan saya? Walaupun tidak masuk di jurusan yang dianggap top five di IPB, tapi Alhamdulillah saya masuk jurusan yang saya inginkan. 🙂

Kakak saya bisa menyelesaikan masa studi S1-nya dalam kurun waktu 3 tahun 9 bulan, sedangkan saya? 5 tahun!

Pada umur 22 tahun kakak saya sudah bisa mandiri dan nggak nyusahin orang tua lagi, sedangkan saya? Sampai saat ini untuk hal-hal tertentu masih dapat subsidi dari orang tua!

Kakak saya anak yang baik, patuh, berbakti pada orang tua dan nggak pernah cek-cok sama mama-papa, sedangkan saya? Beberapa kali saya sempat bertengkar dengan mama dan papa karena mempertahankan apa yang saya anggap benar, padahal jelas-jelas apa yang saya pertahankan itu menyakiti hati orang tua saya.

Hmmm, she’s better than me… and I’ve been always be her shadow…

Lepas dari “Bayang-Bayang”

Saya tahu saya berbeda dengan kakak saya dan saya tidak ingin terus-terusan di bawah bayang-bayangnya. Lalu saya mencari cara bagaimana bisa lepas dari bayang-bayang kakak saya. Cara yang saya tempuh adalah mencari apa yang saya suka dan apa yang saya inginkan serta masuk dalam komunitas atau organisasi yang tidak diikuti oleh kakak saya.

Dari apa yang saya suka, saya coba dan berlatih terus untuk mengembangkannya hingga saya lumayan ahli di bidang itu (walaupun masih belum masuk dalam kategori expert sih…).

Dari apa yang saya inginkan, saya berusaha terus sekuat tenaga untuk meraihnya. Saya nggak pernah menyerah untuk bisa mewujudkan impian saya. Dan terbukti saya bisa mewujudkannya di luar jangka waktu yang saya duga.

Dari komunitas dan organisasi yang saya ikuti, saya berusaha untuk loyal, walaupun posisi saya hanya sebagai follower.

Hanya tiga hal itu yang bisa membantu saya keluar dari bayang-bayang kakak saya dan orang mengenal saya sebagai “Vina yang… (bla bla bla)” tanpa embel-embel “Ooh, Vina adiknya Ninda itu ya…”.

Untuk pembaca yang merasa hidup di bawah bayang-bayang seperti saya ini, cobalah untuk melakukan yang saya lakukan. Insya Allah, tidak ada embel-embel lagi “Siapa adiknya siapa”, atau “Siapa anaknya siapa”. Selamat mencoba dan semoga berhasil. Amiennn… 🙂

This article is fully dedicated to Muhammad Reza and Mandira Bienna Elmir (hasil curcol saat perjalanan Medan-Brastagi dengan Reza dan curhatan tengah malam dengan Dira di Grand Malindo-Bukittinggi). 😀

Bogor, 21 Juli 2010 18:34

~Okvina Nur Alvita

One comment

  1. Wong Kam Fung says:

    Hanya hantu yang nggak punya bayang2. 😀
    Coba sekarang cara mikirnya dibalik, wah betapa bangganya punya kakak yang pinter ngaji, nari, nyanyi dll. Mungkin karena dasarnya kebanggaan maka yang dirasa juga kebanggaan. Bila yang dilihat negatifnya, yang terlihat ya negatif juga. Bukannya senang ada bayang-bayang yang melindungi? Saya kok seneng ada di balik bayang2, apalagi kalo pas panas terik pasti nyari bayang-bayang karena tidak bisa berteduh di bawah bayangan sendiri. hehehe…
    Santai saja Vi, pasti mbak Ninda sangat bangga punya adik yang jago travelling.
    Salam persahablogan 😉

Leave a Reply